Dengan dirumuskannya Piagam Madinah oleh Nabi Muhammad SAW setelah beliau hijrah ke Madinah, sebenarnya ini merupakan tonggak utama lahirnya pemerintahan Islam. Menurut Harun Nasution, Piagam Madinah tersebut mengandung aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup ini dipimpin oleh Muhammad SAW sendiri. Kesepakatan contract social inilah yang menjadi dokumen konstitusi bagi lahirnya negara yang berdaulat. Dengan demikian, di Madinah nabi Muhammad bukan hanya mengemban tugas-tugas keagamaan sebagai Rasulullah, melainkan juga sebagai kepala Negara.
Piagam Madinah ini merupakan embrio akan terlahirnya praktek politik dikemudian hari yang dialami oleh para khalifah (pemimpin negara) berikutnya sepeniggalnya Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi Muhammad Saw wafat pada tahun 632 M. Pada waktu itu, dengan segala situasinya, beliau tidak meninggalkan wasiat maupun arahan tentang figur atau siapa pengganti beliau. Umat Islam secara politis tidak siap ditinggalkan oleh Nabi. Maka masyarakat di Madinah pun sibuk memikirkan siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara sepeninggal beliau. Maka sejak saat itulah mulai muncul benih-benih politik yang tidak bisa dielakkan oleh pemimpin-pemimpin pemerintahan berikutnya, yang dijalankan oleh para sahabat yang empat, yang dikenal dengan sebutan Khulafah al-Rasyidin. Kenyataan praktek perpolitikan semasa pemerintahan dipegang para sahabat ini pada masa-masa awal belum seberapa muncul, namun kenyataan ini semakin tampil nyata pada masa-masa akhir Khulafah al-Rasyidin, sehingga timbul beberapa mazhab politik.
1. Politik Masa Khulafa al-Rasyidin dan Madzhab Politik
Istilah kekhalifahan dalam bentuk pemerintahan berawal dari Khalifah al-Rasyidin. Khalifah al-Rasyidin sendiri berjalan dalam rentang waktu 29 tahun. Khalifah yang menjalankan roda pemerintahan, dari Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib. Kekhalifahan al-Rasyidin memegang dan menjalankan pemerintahan tetap di Madinah. Periode kekhalifahan pada rentang waktu ini mendapat sorotan dan pujian yang sangat mendalam dalam sejarah, sehingga kekhalifahan ini mendapat gelar Ar-Rasyidin (yang lurus).
Namun demikian, pada masa Khulafah al-Rasyidin ini tidak terlepas dari krisis. Krisis yang terjadi bukan merupakan krisis kepribadian diantara keempat Khulafah al-Rasyidin, melainkan krisis otoritas yang sah. Masalah yang diperdebatkan bukanlah siapa, melainkan bagaimana memilih seorang pengganti nabi dan menetapkan cakupan dan kewenangannya. Jadi, pada masa awal sejarah Islam terjadi krisis politik bukan krisis keagamaan, seperti kemelut institusional yang dialami kaum Muslim pada periode awal politik Islam.
Semenjak Abu Bakar naik sebagai khalifah pertama Islam, diskursus politik sangat marak. Baik dalam perbincangan aktor, apakah Abu Bakar sebagai seorang kepala pemerintahan saja atau sebagai sekaligus pemimpin agama. Di mana ditandai dengan perseteruan yang keras antara kalangan Muhajirin yang beretnis Quraisy yang merasa sebagai pembela Islam pertama dengan kalangan Anshor, yang merasa memiliki tanah air Islam pertama. Bahkan perbincangan dengan keputusan Abu Bakar untuk memerangi orang yang tidak membayar pajak, juga telah menimbulkan sejarah baru tentang perkembangan pemikiran politik. Sebab selama Rasul hidup, beliau tidak pernah menjatuhkan hukum perang kepada orang yang tidak mau membayar zakat.
Pergulatan pemikiran politik Islam juga cukup menonjol dalam mensikapi pemerintahan Umar bin Khattab yang sangat tegas tetapi demokratis. Banyak kebijakan-kebijakan politik Umar bin Khattab yang berbeda dengan kebijakan Nabi, semisal dalam persoalan pembagian harta rampasan perang. Apakah ini ijtihadi politik Umar sendiri, atau bukan? Umar bin Khattab juga seorang pemimpin yang ingin meletakkan politik dalam panggung keadilan, hal ini tercemin dalam sikap Umar ketika dilantik menjadi Khalifah. Ia mengangkat pedang tinggi, untuk membela Islam, jika ia tidak selaras dengan Islam, maka ia menyuruh masyarakat mengingatkannya dengan pedang pula.
Demikian juga dalam masa pemerintahan Khalifah Utsman, pemikiran politik tentang koalisi, aliansi tampaknya sangat menonjol. Posisi usia Utsman yang sudah cukup tua, yang kemudian dimanfaatkan oleh kerabat dekat Utsman untuk mempengaruhi roda pemerintahan. Di mana kemudian ditandai dengan kondisi nepotisme dalam pemerintahan Utsman.
Kondisi yang paling menegangkan, sehingga menimbulkan banyak pola pemikiran politik adalah ketika Ali bin Abu Thalib diangkat menjadi Khalifah. Konflik politik berkepanjangan berkaitan dengan pembunuhan Utsman, menjadikan sebab timbulnya perang saudara di sesama Muslim. Bahkan istri Rasulullah sendiri, Aisyah, ikut mempimpin perang melawan Ali dalam perang Jamal (Onta). Yang mana dikemudian hari menjadi diskursus panjang tentang boleh tidak wanita menjadi pemimpin suatu kaum. Dalam masa inilah kemudian, perbedaan kepentingan aqidah dipolitisir lebih jauh menjadi sebuah kepentingan politik. Dinamika politik inilah yang kemudian melahirkan mazhab politik Islam klasik yang terbagi dalam beberapa mazhab besar; yakni Sunni, Syi'ah, Khawarij, dan Mu’tazilah. Dari mazhab-mazhab politik yang masing-masing punya pandangan sendiri ini, di kemudian hari melahirkan derivasi pemikiran yang sangat kompleks dan berkelanjutan.
Istilah kekhalifahan dalam bentuk pemerintahan berawal dari Khalifah al-Rasyidin. Khalifah al-Rasyidin sendiri berjalan dalam rentang waktu 29 tahun. Khalifah yang menjalankan roda pemerintahan, dari Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib. Kekhalifahan al-Rasyidin memegang dan menjalankan pemerintahan tetap di Madinah. Periode kekhalifahan pada rentang waktu ini mendapat sorotan dan pujian yang sangat mendalam dalam sejarah, sehingga kekhalifahan ini mendapat gelar Ar-Rasyidin (yang lurus).
Namun demikian, pada masa Khulafah al-Rasyidin ini tidak terlepas dari krisis. Krisis yang terjadi bukan merupakan krisis kepribadian diantara keempat Khulafah al-Rasyidin, melainkan krisis otoritas yang sah. Masalah yang diperdebatkan bukanlah siapa, melainkan bagaimana memilih seorang pengganti nabi dan menetapkan cakupan dan kewenangannya. Jadi, pada masa awal sejarah Islam terjadi krisis politik bukan krisis keagamaan, seperti kemelut institusional yang dialami kaum Muslim pada periode awal politik Islam.
Semenjak Abu Bakar naik sebagai khalifah pertama Islam, diskursus politik sangat marak. Baik dalam perbincangan aktor, apakah Abu Bakar sebagai seorang kepala pemerintahan saja atau sebagai sekaligus pemimpin agama. Di mana ditandai dengan perseteruan yang keras antara kalangan Muhajirin yang beretnis Quraisy yang merasa sebagai pembela Islam pertama dengan kalangan Anshor, yang merasa memiliki tanah air Islam pertama. Bahkan perbincangan dengan keputusan Abu Bakar untuk memerangi orang yang tidak membayar pajak, juga telah menimbulkan sejarah baru tentang perkembangan pemikiran politik. Sebab selama Rasul hidup, beliau tidak pernah menjatuhkan hukum perang kepada orang yang tidak mau membayar zakat.
Pergulatan pemikiran politik Islam juga cukup menonjol dalam mensikapi pemerintahan Umar bin Khattab yang sangat tegas tetapi demokratis. Banyak kebijakan-kebijakan politik Umar bin Khattab yang berbeda dengan kebijakan Nabi, semisal dalam persoalan pembagian harta rampasan perang. Apakah ini ijtihadi politik Umar sendiri, atau bukan? Umar bin Khattab juga seorang pemimpin yang ingin meletakkan politik dalam panggung keadilan, hal ini tercemin dalam sikap Umar ketika dilantik menjadi Khalifah. Ia mengangkat pedang tinggi, untuk membela Islam, jika ia tidak selaras dengan Islam, maka ia menyuruh masyarakat mengingatkannya dengan pedang pula.
Demikian juga dalam masa pemerintahan Khalifah Utsman, pemikiran politik tentang koalisi, aliansi tampaknya sangat menonjol. Posisi usia Utsman yang sudah cukup tua, yang kemudian dimanfaatkan oleh kerabat dekat Utsman untuk mempengaruhi roda pemerintahan. Di mana kemudian ditandai dengan kondisi nepotisme dalam pemerintahan Utsman.
Kondisi yang paling menegangkan, sehingga menimbulkan banyak pola pemikiran politik adalah ketika Ali bin Abu Thalib diangkat menjadi Khalifah. Konflik politik berkepanjangan berkaitan dengan pembunuhan Utsman, menjadikan sebab timbulnya perang saudara di sesama Muslim. Bahkan istri Rasulullah sendiri, Aisyah, ikut mempimpin perang melawan Ali dalam perang Jamal (Onta). Yang mana dikemudian hari menjadi diskursus panjang tentang boleh tidak wanita menjadi pemimpin suatu kaum. Dalam masa inilah kemudian, perbedaan kepentingan aqidah dipolitisir lebih jauh menjadi sebuah kepentingan politik. Dinamika politik inilah yang kemudian melahirkan mazhab politik Islam klasik yang terbagi dalam beberapa mazhab besar; yakni Sunni, Syi'ah, Khawarij, dan Mu’tazilah. Dari mazhab-mazhab politik yang masing-masing punya pandangan sendiri ini, di kemudian hari melahirkan derivasi pemikiran yang sangat kompleks dan berkelanjutan.
2. Politik Pemerintah Islam Pasca Khulafah Al-rasyidin
Kekhalifahan pasca Khulafa al-Rasyidin diawali sejak terjadinya kekacauan politik antara Ali bin Abi Thalib yang memegang pemarintahan sah pada waktu itu, dengan Muawiyah bin Abi Sofyan, yang pada akhirnya berhasil menggusur pemerintahan Ali. Dalam situasi perpolitikan yang kacau balau, hingga mendorong lahirnya beberapa Madzhab politik tersebut, bahkan sampai mengakibatkan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Mu'awiyyah bin Abi Sofyan, yang menggusur pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tersebut adalah kemenakan dari Utsman bin Affan, pemegang pemerintahan sebelum Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah sendiri selama kepemimpinan pemerintahan Utsman bin Affan, menjabat Gubernur di Damaskus, sehingga ketika Utsman wafat maka posisi Mu'awiyyah sebagai gubernur terancam, maka terjadilah manuver untuk menggoyang kepemimpinan Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Kematian Ali bin Abi Thalib memungkinkan Mu'wiyyah untuk menampilkan diri, apalagi dengan terbunuhnya anak Ali, Husein bin Ali, dalam perang di padang Karbala, menjadikan posisi Mu'awiyyah semakin kuat. Hal pertama yang dilakukan oleh khalifah Mu'awiyyah adalah melakukan perpindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Hal yang juga tak kalah pentingnya, Mu'awiyyah melakukan adopsi sistem pemerintahan dari Romawi maupun Persia untuk mendukung pemerintahannya. Jika dalam masalah pengangkatan pemimpin, dilakukan oleh Majlis Syuro yang akan memilih dari beberapa orang yang telah ditunjuk oleh khalifah sebelumnya, Muawiyyah memperkenalkan pemaknaan baru. Pemaknaan penunjukkan ini dilakukan langsung oleh Mu'awiyyah kepada putranya, dan Majlis Syuro dibuat untuk melegalisasikan. Sehingga pada masa pemerintahan Mu'awiyyah lebih menampilkan pemerintahan dinasti dibandingkan dengan khalifah. Bai'ah sebagai sarana penerimaan kepada Khalifah juga dilakukan revisi, di mana bai'ah dilakukan oleh Ahlu al-hal wa al-aqdi yang ditunjuk oleh Mu'awiyyah sendiri untuk membai'ah putranya, tidak harus secara langsung rakyat membai'ah. Dalam batasan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, masa kekhalifahan Ummayah dikenal dengan periode kekhalifahan yang sombong.
Sehingga dalam masa pemerintahan kekhalifahan kedua ini, sejarah menyebutnya dengan Kekhalifahan Ummayah (Keluarga Ummayah). Masa kekhalifahan Ummayah berjalan cukup lama, sekitar 90 tahun. Hal yang cukup monumental selama khilafah Ummayah adalah dalam hal perluasan wilayah dari Asia Selatan sampai Spanyol, mulai diperkenalkannya sistem mata uang, penggajian pegawai, diperkenalkannya Qadhi (hakim khusus) sebagai bidang yang tersendiri yang tidak di bawah kendali langsung khalifah.
Meskipun demikian kekhalifahan Ummayah akhirnya runtuh digantikan oleh kekhalifahan Abbassiyah. Adapun beberapa hal yang menyebabkan kemerosotan kekhalifahan Ummayah adalah sebagai berikut:
- Pola suksesi yang bersifat senioritas, dan tidak jelas, sehingga pada akhirnya menyebabkan persaingan di antara keluarga istana.
- Latar belakang berdirinya Ummayah adalah latar belakang konflik.
- Luas wilayah Ummayah yang menyebabkan persaingan antar wilayah.
- Lemahnya pemerintahan Ummayah karena moral khalifah yang suka bermewah-mewah, dan tidak mendapat dukungan ulama.
- Munculnya kekuatan baru dari keturunan Abbas bin Munthalib, yang mendapat dukungan dari golongan Syi'ah dan Mawali yang dikecewakan oleh Ummayah.
Setelah runtuhnya kekhalifahan Ummayah diganti dengan kekhalifahan Abbasiyyah. Kekhalifahan Abbas-siyyah didirikan oleh Abdullah bin Saffah ibnu Muhammad ibnu Ali ibnu Abdullah bin Abbas. Pemerintahan khilafah Abbasiyah merupakan kekhalifahan yang paling lama mencapai 588 tahun.
Abdullah bin Saffah dalam membangun memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Khalifah Abasiyyah juga melestarikan pola pemerintahan dan suksesi pemerintahan seperti kekhalifahan Ummayah, demikian pula dengan melakukan perlebaran kekuasaan. Khilafah Abbasiyyah juga memperkenalkan depatermen baru yang dikenal dengan Wazir. Wazir berfungsi sebagai koordinator kelembagaan antar departemen, dan wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak (orang Persia).
Hal yang menarik dalam kekhalifahan Abbasiyah adalah interprestasi tentang khalifah sebagai: Innama anaa sulthaan Allah fi ardhlihi (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Di mana membuka terminologi baru, bahwa kekhalifahan bukanlah sebagai pengganti nabi, bukan mandat dari manusia tetapi merupakan mandat dari Alloh. Penafsiran baru ini dilakukan semasa khalifah al-Makmun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar