Khataman dan Imtihan

Khataman dan Imtihan

Kamis, 28 Maret 2013

Apakah Ma’mum Masbuq Mendapatkan Rakaat, Ketika Mendapati Imam Sedang Ruku’

Dalam masalah: ma’mum masbuq (terlambat) mendapati imamnya ruku’, apakah dihitung mendapatkan raka’at? Telah terjadi perbedaan pendapat diantara ulama, yaitu ada dua pendapat ulama.
PENDAPAT PERTAMA
Mendapatkan raka’at. Karena ma’mum masbuq (terlambat) dapat raka’at, jika dia mendapatkan ruku’ bersama imam, sebelum imam menegakkan tulang punggungnya.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Salaf (dahulu) dan Khalaf (yang datang kemudian). Demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, serta disepakati para pengikut madzhab empat. Hal ini juga diriwayatkan dari para sahabat: Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid, dan Ibnu Umar. Pendapat ini juga dirajihkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Ash Shan’ani, Asy Syaukani pada pendapat kedua, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al Albani dan lainnya. [1]
Pendapat inilah yang lebih kuat, insya Allah.
Adapun diantara dalil-dalil pendapat ini ialah:
Hadits dari Al Hasan:
Dari Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang ruku’, lalu dia ruku’ sebelum sampai ke shaf (lalu dia berjalan menuju shaf). Kemudian dia menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Semoga Allah menambahkan semangat terhadapmu, dan janganlah engkau ulangi.” [HR Bukhari, no. 783. Tambahan dalam kurung riwayat Abu Dawud no. 684]
Para ulama berbeda pendapat tentang makna sabda Nabi وَلاَ تعد , karena dapat dibaca:
  1.  وَلاَ تُعِدْ janganlah engkau mengulangi). Sehingga maknanya “janganlah engkau mengulangi shalatmu, karena sudah sah”.
  2.  وَلاَ تَعْدُ janganlah engkau berlari; terburu-buru.
  3.  وَلاَ تَعُدْ janganlah engkau kembali). Sehingga maknanya “janganlah engkau kembali terburu-buru memasuki ruku’ sebelum sampai di shaf”. Atau “janganlah engkau kembali terlambat”.

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Maknanya menurut ahli ilmu ialah,’Semoga Allah menambahkan semangat terhadapmu menuju shalat, dan janganlah engkau kembali terlambat dari shalat’.” [2]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,“Bahkan larangan itu kembali kepada apa yang telah disebutkan sebelumnya. Yaitu: ruku’ sebelum sampai shaf.” [3]
Demikian juga Ash Shan’ani memahami sebagaimana Ibnu Qudamah tersebut.[4]
Tetapi pendapat Ibnu Qudamah rahimahullah ini tertolak dengan banyaknya atsar (riwayat) dari para sahabat yang melakukan hal ini. Seperti: Abu Bakar Ash Shiddiq, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Zubair. Yaitu ketika mereka mendapatkan imam dalam keadaan ruku’, maka mereka bertakbir lalu ruku’, dan berjalan ke shaf dalam keadaan ruku’. Riwayat-riwayat itu shahih dan disebutkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 229, yang -insya Allah- sebagiannya akan kami sebutkan di bawah nanti.
Ash Shan’ani rahimahullah berkata: Telah diperselisihkan oleh ulama, tentang makmum yang mendapatkan imam ruku’, lalu dia ruku’ bersama imam. Apakah gugur (kewajiban) membaca Al Fatihah pada raka’at itu bagi orang yang mewajibkan Al Fatihah, sehingga dihitung mendapatkan raka’at itu. Atau tidak gugur, sehingga tidak dihitung mendapatkan raka’at. Ada yang berpendapat: raka’at itu dihitung, karena dia mendapatkan imam sebelum imam mengangkat punggungnya. Ada juga yang berpendapat: itu tidak dihitung, karena Al Fatihah telah terlepas darinya.
Kami telah membicarakan hal itu dalam masalah tersendiri. Dan yang lebih kuat -menurut kami- ialah mencukupi (yaitu dihitung dapat raka’at, red.). Diantara dalilnya, ialah hadits Abu Bakrah, yang dia ruku’ ketika orang-orang lain ruku, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkannya atas hal itu.” [5]
Apapun makna kalimat di atas, di dalam hadits ini nyata, bahwa Abu Bakrah menjadi ma’mum masbuq mendapatkan imam (yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sedang ruku’, lalu dia ruku’ bersama imam, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya menambah raka’at lagi. Demikianlah dalil dalam masalah ini.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salla :
Jika kamu mendatangi shalat, padahal kami sedang sujud, maka sujudlah, dan janganlah kamu menghitungnya sesuatu (mendapatkan raka’at). Dan barangsiapa mendapatkan raka’at (ruku’), maka dia mendapatkan shalat. [HR Abu Dawud no. 893. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/169].
Sabda Nabi : Barangsiapa mendapatkan raka’atan (raka’at atau ruku’), maka dia mendapatkan shalat, dapat bermakna:
  1. Orang yang shalat mendapatkan satu raka’at kemudian waktunya habis, maka shalatnya sah.
  2. Ma’mum masbuq mendapatkan satu raka’at terakhir dari shalat jama’ah, maka dia mendapat pahala shalat jama’ah tersebut.
  3. Ma’mum masbuq mendapatkan ruku’ bersama imam, sebelum imam bangkit dari ruku’nya, dia mendapatkan raka’at tersebut.
Makna ketiga ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain dengan lafazd
Barangsiapa mendapatkan rak’atan (ruku’) [6], maka dia mendapatkan shalat, sebelum imam menegakkan tulang punggungnya. [HR Abu Dawud no. 893. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/169]
Zaid bin Wahb berkata,“Aku keluar bersama Abdullah –yakni: Ibnu Mas’ud- dari rumahnya menuju masjid. Ketika kami sampai di tengah masjid, imam ruku’. Lalu Abdullah bertakbir dan ruku’, dan aku ruku’ bersamanya. Kemudian dalam keadaan ruku’ kami berjalan sehingga sampai shaf, ketika orang-orang mengangkat kepala mereka. Setelah imam menyelesaikan shalatnya, aku berdiri, karena aku menganggap tidak mendapatkan raka’at. Namun Abdullah memegangi tanganku dan mendudukanku, kemudian berkata,“Sesungguhnya engkau telah mendapatkan (raka’at).” [7]
PENDAPAT KEDUA
Tidak mendapatkan raka’at. Karena ma’mum masbuq (terlambat) mendapatkan raka’at, jika dapat membaca Al Fatihah, atau mendapatkan imam berdiri sebelum ruku’.
Di antara dalilnya ialah:
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Tidak (sah atau sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca fatihatul kitab. [HR Bukhari, no. 756; Muslim no. 394; dan lainnya dari Ubadah bin Ash Shamit].
Diantara ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Bukhari, Ibnu Hazm, dan satu pendapat dari Asy Syaukani. [8]
Walaupun hadits ini shahih, namun tidak dapat dipakai sebagai dalil dalam masalah ini. Karena dalil-dalil dari pendapat pertama secara tegas menunjukkan, bahwa ma’mum yang mendapatkan imam ruku’, berarti ia mendapatkan raka’at tersebut. Wallahu a’lam.
Dengan keterangan di atas nampaklah, bahwa pendapat pertama lebih kuat. Wallahu a’lam.
Adapun hadits yang disangka diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut
Dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau mendapatkan orang-orang sedang ruku’, hal itu tidak dihitung raka’at.”
Keterangan kami.
  1. Kami sudah berusaha mencari hadits tersebut di dalam Shahih Bukhari, namun kami tidak mendapatkannya.
  2. Yang kami ketahui, riwayat di atas merupakan ucapan Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Khairul Kalam Fil Qira’ah Khalfal Imam. Dikenal dengan Juz ul Fil Qira’ah.
Imam Bukhari berkata:
Ma’qil bin Malik telah menceritakan kepada kami. Dia berkata,’Abu ‘Awanah telah menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdurrahman bin Al A’raj, dari Abu Hurairah, dia berkata:
Dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika engkau mendapatkan orang-orang sedang ruku’, hal itu tidak dihitung raka’at.” [9]
Karena riwayat ini tidak diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya, maka tidak boleh dikatakan “riwayat Imam Bukhari” saja. Karena kebiasaan ulama ahli hadits, jika menyebutkan “riwayat Imam Bukhari”, itu berarti terdapat di dalam Shahihnya, yang memang hadits-hadits di dalamnya merupakan hadits-hadits shahih. Adapun jika suatu riwayat disebutkan oleh Imam Bukhari dalam selain kitab Shahihnya, maka harus disebutkan dengan lengkap, karena memang tidak ada jaminan keshahihan riwayat tersebut.
Adapun sanad riwayat ini, dha’if sebagaimana disebutkan Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Shahihah no. 229. Kedha’ifan itu karena perawi bernama Ma’qil bin Malik dinyatakan matruk (ditinggalkan haditsnya) oleh Al Azdi. Tidak ada yang menganggapnya tsiqah (terpercaya), kecuali Ibnu Hibban. Sedangkan Ibnu Hibban terkenal tasahulnya (mempermudah menyatakan tsiqah terhadap perawi hadits). Demikian juga Muhammad bin Ishaq seorang mudallis (perawi yang sering menyamarkan hadits). Maka, ketika dia meriwayatkan dengan ‘an’anah (dari Fulan), riwayatnya tidak diterima; karena tidak menyebutkan secara tegas, bahwa dia menerima riwayat tersebut.
Kemudian seandainya riwayat ini shahih, tetapi bertentangan dengan pendapat para sahabat lainnya yang banyak dan lebih ’alim, maka (penjelasannya, red.) sebagaimana keterangan sebelum ini.
Sedangkan Hadits yang disangka diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi
Barangsiapa mendapatkan imam di dalam ruku’, hendaklah dia ruku’ bersamanya, dan hendaklah dia mengulangi raka’at.
Jawaban kami:
Sebagaimana jawaban sebelumnya, kami sudah berusaha mencari hadits ini dalam Sunan Tirmidzi, namun tidak mendapatkannya. Wallahu a’lam.

KESIMPULAN
Dari keterangan di atas jelaslah, bahwa pendapat yang lebih kuat, jika ma’mum mendapatkan ruku’ imam, maka dia mendapatkan raka’at tersebut. Wallahu a’lam.
_______
Footnote
[1]. Lihat Shalatul Jama’ah, 96-98, karya Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani
[2]. Al Istidzkar 6/250
[3]. Al Mughni 2/77
[4]. Subulus Salam 2/34
[5]. Subulus Salam 2/34
[6]. Kata rak’ah di sini, artinya ruku’ sesuai dengan kelanjutan hadits
[7]. Shahih, riwayat Ibnu Abi Syaibah, Abdurrazaq, Ath Thahawi, Ath Thabrani, dan Al Baihaqi. Dinukil dari Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 229
[8]. Lihat Juz’ul Qira’ah Khalfal Imam; Al Muhalla 2/274-278; Nailul Authar 2/511-514
[9]. HR Bukhari dalam Juz ul Fil Qira’ah, no. 284, Penerbit Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, tanpa tahun

                                                                         
                                                                       Sumber: almanhaj.or.id (dengan beberapa perubahan)


Hukum Shalat Berjama’ah

Menasehati kaum muslimin dan mengingkari kemungkaran mereka adalah termasuk kewajiban yang utama, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Artinya : Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar” [At-Taubah : 71]
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Kalau dia tidak mampu, rubahlah dengan lisannya. Kalau dia tidak mampu, rubahlah dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman” [HR Muslim]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Agama adalah nasihat”. Ada yang bertanya kepada beliau : “Untuk siapa ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab : “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin dan kebanyakan kaum muslimin” [HR Muslim]
Tidak diragukan lagi bahwa meninggalkan shalat jama’ah tanpa udzur adalah termasuk kemungkaran yang wajib diingkari. Karena shalat lima waktu di masjid dengan berjama’ah adalah kewajiban bagi laki-laki. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang sangat banyak, diantaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan kemudian dia tidak datang (ke masjid untuk shalat berjama’ah), maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada udzur/halangan” [HR Ibnu Majah-pent]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dan lain-lain dengan sanad jayid dishahihkan oleh Imam Hakim.
Dan diriwayatkan juga dalam sebuah hadits shahih bahwa.
“Artinya : Ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi dan berkata : ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya tidak mempunyai seorang penuntun yang bisa menuntun saya ke masjid. Adakah keringanan bagi saya untuk shalat di rumah ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Apakah kamu mendengar panggilan adzan? Orang itu menjawab : Ya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : kalau begitu kamu wajib datang ke masjid” [HR Muslim : 1044]
Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini jumlahnya cukup banyak.
Oleh karena itu, seorang muslim apabila dinasihati oleh saudaranya, dia tidak boleh marah dan tidak boleh menolak kecuali dengan cara yang baik. Justru sepatutnya dia berterima kasih kepada saudaranya yang mengajak kepada kebaikan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia tidak boleh bersikap sombong terhadap orang yang mengajak kepada kebenaran, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela dan mengancam orang yang bersifat seperti ini dengan azab Jahannam, sebagaimana firman-Nya.

وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

 “Artinya : Dan apabila dikatakan kepadanya : Bertakwalah kepada Allah, bangkitlah            kesombongannya berbuat dosa. Maka cukuplah Jahannam baginya dan itulah sejelek-jelek tempat” [Al-baqarah ; 206]
    Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi petunjuk kepada seluruh kaum muslimin.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan Solo]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket