Khataman dan Imtihan

Khataman dan Imtihan

Jumat, 05 April 2013

Demokrasi dalam Islam dan As-Sunnah


Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyhur dan sudah lama adanya meskipun anggapan ini sesungguhnya tidak benar. “Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,” kata Soekarno, presiden pertama RI, ketika menyampaikan pidato berjudul, “Negara Nasional dan Cita-Cita Islam”, di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.Namun demikian, tak sedikit pandangan kritis yang memandang syura bukanlah demokrasi. Abdul Qadim Zallum (1990), misalnya, menegaskan, “Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y), sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem (pemerintahan)”.

Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail tentang demokrasi dan syura dalam islam dan al sunah , namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang demokrasi dan syura dalam islam dan al sunah.




Demokrasi Dalam Islam dan As Sunnah

Konsep demokrasi secara umum berarti dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Secara politik juga berarti kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat dalam membuat undang-undang dan peraturan negara. Tapi karena tidak mungkin seluruh rakyat dari berbagai penjuru berkumpul guna membuat perundang-undangan, maka rakyat memilih wakilnya yang mereka percayai sebagai penyambung lidah. Rakyat memilih sekelompok orang yang bertugas menyusun undang-undang (legislatif), menjalankan pemerintahan (eksekutif), dan menegakkan hukum (yudikatif). Dengan sistem demokrasi kehidupan bernegara dapat menjamin terealisasinya prinsip-prinsip kemanusiaan seperti kebebasan, persamaan dan keadilan.

Hizbut Tahrir menegaskan sikapnya tentang demokrasi dalam sebuah kitab karya Syaikh Abdul Qadim Zallum yang menyerukan, "Demokrasi adalah sistem kufur, haram mengambil, menerapkan, dan mempropagandakannya." (Zallum, 1990).

Mengapa demokrasi kufur? Dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat).

Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas, sebab menurut Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia. Firman Allah SWT (artinya):

"Menetapkan hukum hanyalah hak Allah." (QS Al-An’aam : 57)

Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Pada titik itulah, demokrasi disebut sebagai sistem kufur. Sebab sudah jelas, memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran. Firman Allah SWT (artinya) :

"Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (QS Al-Maa`idah : 44)

Abdul Qadim Zallum (1990) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam. Antara lain :

a. Dari segi sumber : demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sedang     Islam, berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad SAW.
b. Dari segi asas : demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sedang Islam asasnya Aqidah Islamiyah yang mewajibkan menerapkan Syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2:208).
c. Dari segi standar pengambilan pendapat, demokrasi menggunakan standar mayoritas. Sedangkan Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya : (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas, (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas, (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas.
d.  Dari segi ide kebebasan : demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat), di mana arti kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan sesuatu apa pun pada saat melakukan aktivitas (‘adam al-taqayyud bi syai`in ‘inda al-qiyaam bi al-‘amal) (Zallum, Kaifa Hudimat al-Khilafah, 1986). Sedang Islam, tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan keterikatan dengan syariah Islam, sebab pada asalnya, perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum-hukum Syariah Islam (al-ashlu fi al-af’aal al-taqayyud bi al-hukm al-syar’i).

Dengan adanya kontradiksi yang dalam antara demokrasi dan Syariah Islam itulah, Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr (1990) menegaskan tanpa ragu-ragu :

"Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur, tidak ada hubungannya degan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun secara rinci. Oleh karena itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan, dan menyebarluaskan demokrasi".

Hakikat Syura Dalam Islam dan As Sunnah

Menurut pengertian bahasa, syura (syura/musyawarah) adalah mashdar (kata-dasar) dari kata syawara (Zallum, 2002: 216). Syura secara bahasa memiliki banyak makna. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, jilid II halaman 379-381, pada pasal sya-wa-ra, makna syura antara lain adalah mengeluarkan madu dari sarang lilin [lebah] (istikhraj al-‘asl min qursh asy-syama’), memeriksa tubuh hamba sahaya perempuan dan binatang ternak pada saat pembelian (tafahhush badan al-âmah wa ad-dabbah ‘inda asy-syira’), menampakkan diri dalam medan perang (isti‘radh an-nafs fi maydan al-qital), dan sebagainya (Al-Khalidi, 1980: 141; Zallum, 2002: 216).

Menurut pengertian syariat yang didasarkan pada nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, syura bermakna mengambil pendapat (akhdh ar-ra’y[i]) (An-Nabhani, 1994: 246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab ar-ra’y[i] min al-mustasyar) (Zallum, 2002: 216). Istilah lain dari syura adalah masyurah (An-Nabhani, 2001: 111) atau at-tasyawur (An-Nabhani, 1994: 246).

Taqiyuddin An-Nabhani (1994: 246) mengatakan bahwa syura dilakukan oleh setiap amir (pemimpin) terhadap orang-orang yang dipimpinnya, misalnya oleh seorang khalifah, komandan pasukan (qa’id), atau oleh setiap orang yang mempunyai kewenangan/otoritas (shahib ash-shalahiyah). Syura dapat dilakukan juga di antara suami-istri, misalnya untuk memusyawarahkan penyapihan anak mereka sebelum dua tahun (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).

Dalam sistem Khilafah, syura secara kelembagaan formal dilaksanakan dalam Majelis Umat, yang merupakan lembaga wakil-wakil umat dalam musyawarah dan muhasabah (pengawasan) terhadap Khalifah (Zallum, 2002: 222). Artinya, fungsi Majelis Umat antara lain melakukan musyawarah dengan Khalifah. Namun demikian, Majelis Umat dalam negara Khilafah tidak mempunyai kewenangan legislatif seperti parlemen dalam sistem demokrasi. Fungsi legislasi dalam arti melakukan adopsi (tabanni) hukum syariat dari sejumlah hukum syariat yang ada dalam satu masalah untuk mengatur urusan rakyat hanya menjadi otoritas Khalifah, bukan yang lain (Zallum, 2002: 44).

Hukum melakukan syura, menurut Abdul Qadim Zallum, adalah mandûb (sunnah), bukan wajib (2002: 217-218). Ini sejalan dengan pandangan para ahli tafsir terkemuka yang menyatakan bahwa perintah Allah Swt. kepada Rasulullah saw. untuk melakukan syura dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 159 adalah perintah mandûb (sunnah), bukan perintah wajib. Mereka itu, misalnya, Ibn Jarir ath-Thabari (Jâmi‘ al-Bayân, IV/153), Al-Alusi (Ruh al-Ma‘ânî, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf, I/474), Imam Al-Qurthubi (Al-Jami‘ li Ahkâm al-Qur’an, IV/249-252), dan Ibn al-‘Arabi (Ahkam al-Qur’an, I/298).

Jadi, meskipun ada tuntutan (thalab) dari al-Quran untuk melakukan syura, misalnya dalam frasa wa syawirhum fî al-amr (bermusyawarahlah kamu dalam urusan itu) (QS Ali ‘Imran [3]: 159), ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut bukan tuntutan yang bersifat tegas (thalab jazim) yang kesimpulan hukumnya wajib, melainkan tuntutan tidak tegas (thalab ghayr jazim) yang kesimpulan hukumnya mandub. Indikasi (qarinah) tersebut antara lain, bahwa pada ayat tersebut terdapat frasa fa idza azamta fatawakkal ‘ala Allah (kemudian jika kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada Allah). Ayat ini jelas menyandarkan ‘azam (tekad bulat) yaitu maksud untuk melaksanakan sesuatu dan mengambil keputusan hanya kepada Rasulullah, bukan kepada orang-orang yang diajak musyawarah. Oleh karena itu, dalam banyak kebijakannya, Rasul sering mengambil keputusan tanpa bermusyawarah dengan para shahabat, seperti dalam pengangkatan para wali (gubernur), para qadhi (hakim), para sekretaris (kuttab), serta para pemimpin sariyah dan pasukan, juga dalam penandatanganan gencatan senjata dan sebagainya (Zallum, 2002: 217-218). Ini menunjukkan bahwa syura adalah mandub, bukan wajib, yang melakukannya akan mendapat pahala, sedangkan yang meninggalkannya tidak berdosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket