BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lebih
dari 14 abad silam, Tuhan mengutus malaikat Jibril untuk menyampaikan
wahyu kepada nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah kalam yang pendek “ Bacalah
! ”, kahadiran beliau dengan risalahnya telah menghadirkan abad penuh
cahaya keilmuan karena semua umat akan terpacu untuk selalu menggunakan
lisannya guna membaca dari apa yang belum diketahui. Hal ini tentunya
akan mengandung konsekuen bahwasannya umat akan berhijrah dari
kejahiliahan menuju kegemilangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Yaitu
zaman dimana manusia akan merasakan kesejahteraannya dengan segala alat
perlengkapan yang serba praktis.
Dalam
perkembangannya, keberagaman manusia karena kondisi geografis dan
sosiologis yang berbeda akan menghasilkan tradisi dan budaya yang
berbeda pula. Perbedaan tradisi dan budaya ini juga tidak terlepas oleh
adanya arus perkembangan teknologi dan informasi seperti sekarang ini.
Gambaran tentang wajah keberagaman hidup manusia ini, tidak dapat di justifikasi-kan
dalam satu paham saja, namun suatu paham hanya akan mampu untuk
mengontrol seberapa jauh budaya dan tradisi yang sudah berjalan di dalam
masyarakat tersebut. Yaitu menjadi check and balance seberapa
jauh budaya dan tradisi itu mempunyai pengaruh bagi kehidupan
masyarakat.Oleh karena itu, Islam lahir dengan ajaran-ajarannya yang
memiliki toleran cukup tinggi bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Sehingga agama ini dapat dinilai sebagai penyempurna dari ajaran-ajaran
yang sudah ada sebelumnya. Dalam peranannya Islam mampu
mengakulturasikan budaya yang sudah ada dengan memasukkan
ajaran-ajarannya tanpa mengurangi kepercayaan dari pihak yang
bersangkutan terhadap apa yang akan diberikan oleh Islam. Kerena Islam
mampu memandang bahwa kedatangannya memang diperuntukkan guna
kemashlahatan umat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana agama Islam di Jawa?
2. Bagaiman pandangan Islam terhadap budaya Wayang di Jawa?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam di Jawa
Agama pembawa misi kebenaran atau dalam term-nya
adalah Islam datang ke Jawa dibawa oleh para pedagang dari
Arab, Gujarat dan Cina. Perkembangan agama Islam sudah dimulai sejak
masyarakat Jawa sudah menganut keyakinan Hindhu-Budha. Hal ini terbukti
dengan berdirinya kerajaan Demak setelah adanya kerajaan Majapahit.
Dimana misi kekuatan Islam pada waktu itu untuk dakwah memerangi
sesatnya kepercayaan masyarakat Jawa.
Dalam
prakteknya , dakwah yang dilakukan oleh para pembawa ajaran yaitu
dengan upaya mengakulturasikan budaya – budaya yang sudah ada dengan
dengan meng-input ajaran-ajaran Islam. Sehingga Islam tidak
menghilangkan susunan budaya asli yang sudah melekat pada tatanan
masyarakat Jawa, melainkan Islam datang untuk membenahi ajaran-ajaran
yang sudah ada. Pernyataan ini akan sesuai jika membaca sedikit sejarah
masyarakat Jawa. Adanya budaya masyarakat Jawa yang sudah berhasil di inputoleh
ajaran Islam diantaranya adalah upacara Selametan yang berkaitan dengan
orang mati pada hari ketiga, ketujuh, dan hari keempat puluh yang
didalamnya sudah terdapat lafal-lafal Allah dan wirid-wirid Islam
lainnya. Padahal kalau ditelusuri budaya ini merupakan warisan
kepercayaan animisme. Dengan adanya perpaduan ini, tradisi lama
secara otomatis sudah mendapat cap Islam. Demikian pula Upacara
Selamatan akbar yang dilaksanakan oleh Sultan dengan nama gunungan dalam upacara Grebeg Maulud, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar , disamping mendapat cap Islam namun juga memang untuk merayakan hari besar Islam.
Dari
beberapa contoh diatas juga masih terdapat berbagai contoh budaya lain
dari Jawa yang sudah mendapat Input ajaran Islam seperti halnya wayang,
peringatan hari-hari keramat dan upacara selametan dari hampir setiap
peristiwa. Keseluruhan budaya-budaya tersebut masih eksis menjadi
rutinitas peribadatan karena adanya pihak kaum Nadhliyyin (NU)
untuk melestarikan kebiasaan-kebiasaan tersebut, meskipun sekarang sudah
memasuki zaman millennium yang ketiga yang dinilai oleh kaum
Muhammadiyah sebagai zaman untuk melakukan pembaharuan demi melepaskan
umat dari pengaruh-pengaruh budaya non Islam.
Dalam merespon perkembangan yang terjadi secara umum umat Islam di Jawa dibagi menjadi dua kelompok :
1. Kaum
tua, yaitu kaum Ulama yang menentang perubahan-perubahan yang
berkembang dan cenderung mempertahankan sistem keberagaman yang telah
mapan di Indonesia
2. Kaum Muda, yaitu kaum ulama yang mendukung perubahan – perubahan radikal dalam pemikiran dan praktek keagamaan di Nusantara
B. Wayang Sebagai Kebudayaan Jawa
Kedatangan
agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan kebudayaan yang
melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan semata-mata
karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena adanya toleransi
dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Sejarah telah
mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam di Jawa
adalah Wayang.
Kebudayaan
Jawa berupa Wayang sudah ada sejak zaman dahulu
sebelum Indonesia merdeka dan merupakan kebudayaan asli Indonesia. Pada
mulanya wayang masih berhubungan dengan kepercayaan animisme yang
menjadi kepercayaan para leluhur bangsa Indonesia.[4] Sebenaranya Wayang berasal dari kata wayangan yang
berarti sumber Ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga
bisa tergambar dengan jelas dalam batin si penggambar. Pada tahun
(898-910) M. Wayang sudah menjadi wayang Purwa, Namun tetap masih
ditunjukkan untuk menyembah para SangHyang seperti yang tertulis dalam prasasti Balitung : Sigaligi MawayangBuat Hyang, Macarita Bhima ya Kumara.
Menurut
kitab Centini, tentang asal usul Wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian
wayang , mula-mula sekali diciptakan oleh raja Jayabaya dari kerajaan
Mamenang/ Kediri sekitar abad ke 10, raja Jayabaya berusaha menciptakan
gambaran dari roh leluhurnya yang digoreskan diatas daun lontar. Bentuk
gambaran wayang tersebut ditiru dari relief cerita Ramayana pada candi
Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya karena
Jayabaya termasuk penyembah dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh
masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Dewa Wisnu. Figur
tokoh yang digambarkan untuk pertama kalinya adalah Batara Guru atau
Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari dewa Wisnu.
Dalam
perkembangannya, saat dunia Islam mulai menyentuh pewayangan terjadi
perubahan besar diseputar pewayangan. Raden Patah memerintah mengubah
beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para Wali secara
gotong royong, wayang Beber karya Prabangkara (zaman Majapahit) segera
direka ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan, dibuat
menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau.
Dan disamping itu, Sunan Bonang menyusun struktur Dramatikanya, Sunan
Prawata menambah tokoh raksasa dan kera dan juga menambahakan beberapa
sekenario ceritanya. Raden Patah menambahakan tokoh Gajah dan wayang
Pramponan. Sunan Kalijaga mengubah sarana pertu njukan yang awalnya dari
kayu, kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, cempala
dan gunungan.
Sunan Kudus
kebagian tugas men-dalang. ’Suluk’ masih tetap dipertahankan dan
ditambah dengan greget saut dan adha-adha, namun disana sini sudah mulai
dimasukkan unsur dakwah. Pada masa Sultan Trenggana, bentuk wayang
semakin dipermanis lagi. Mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan.
Susuhan Ratu Tunggal, pengganti Sultan Trenggana, tidak mau kalah. Dia
menciptakan model mata liyepan dan thelengan. Selain wayang Purwa, Sang
Ratu juga memunculkan wayang Gedhog, yang hanya digelar dilingkungan
dalam keraton saja. Sementara untuk konsumsi rakyat jelata, sunan Bonang
menyusun Darmawulan.
Walisanga
dalam mengemban tugas luhur tersebut adalah dalam rangka mengislamkan
tanah Jawa, dalam bukunya Poerbosoebroto yang berjudul “Wayang Lambang
Ajaran Islam” banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan maksud
Walisanga tadi. Oleh Walisanga, wayang diubah menjadi media dakwah
Islam. Akidah Islam disiarakan melalui mitologi Hindhu. Hal-hal yang
berkaitan dengan dengan dewa (hyang Sang Hyang) yang menjadi sesembahan
masyarakat waktu itu, dikait-kaitkan dengan cerita nabi. Mitologi Hindhu
berpegang pada dewa sebagai sesembahannya. Karena itu, Walisanga
memadukan cerita-cerita silsilah wayang yang diganti dengan silsilah
Nabi.
Cerita
silsilah wayang digarap dan diurutkan keatas sampai pada nabi Adam.
Metode dakwah Walisanga lewat mitologi Hindu, sangat tepat dengan kontek
budaya masyarakat Jawa waktu itu (abad 15). Untuk menyiarkan akidah
Islam, Walisanga memlilih cara atau metode yang menurut Drs. Ridin
Sofyan cs dalam bukunya Islamisasi Jawa disebut ‘de dewanisasi’ cerita
(lebih tepatnya de-sakralisasi Dewa / Tuhan Hindu). Cerita yang
berhubungan dengan dewa-dewa diubah supaya akidah Islam bisa masuk dalam
Hati sanubari masyarakat. Hal ini dilakukan karena adanya dorongan untuk menyebarkan Islam di jawa secara halus dan tidak terkesan memaksa.
Perkembangan
yang terjadi sampai sekarang ini masih tersisa bahwa perjuangan para
Walisanga telah mengilhami ketolerensian agama Islam dengan budaya
setempat. Dengan dasar misi dakwah yang berdasarkan
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظةالحسنة وجادلهم بالتى هي احسن
Para
Walisanga telah menunjukkan kepada masyarakat bahwasannya Islam
bukanlah agama yang keras dan kolot, namun Islam adalah ajaran yang
tidak akan melupakan maqashidu Syar’i nya yaitu almashlahat al murslah sebagai agama yang rahmatan lil’alamin.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarakan
uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya akulturasi budaya
masyarakat Jawa dengan ajaran Islam telah menghasilkan terobosan jalan
baru untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan keadaan geografis dan
sosiologis yang ada.
Sementara
itu, pandangan Islam terhadap budaya Wayang adalah salah satu budaya
pemula yang mampu diakulturasikan sehingga mampu memasukkan Islam
ditanah Jawa. Dan juga dengan adanya akulturasi budaya tersebut generasi
sekarang ini diharapkan agar mampu mengambil I’tibar dari perjuangan para ulama terdahulu dalam penyampaian misi dakwah islaminya.
Saran
Dari
pembahasan diatas, maka sudah saatnya sebagai generasi penerus masa
depan, setiap pemuda muslim diharapkan mampu melibatkan dirinya dalam
kancah dunia modern dengan sumbangan pemikiran-pemikiran kreatif agar
hati masyarakat sekarang ini juga ter input oleh ajaran-ajaran Islam seperti dahulu saat para Wali menjalankan aksinya. Sebaiknya tidak hanya monoton menjalani kehidupan dengan mengasingkan diri dengan kekolotannya tanpa ingin mencari tahu sedang apa diluar sana.
Dan
yang masih menjadi PR bagi generasi sekarang ini adalah bagaimana
menyadarkan masyarakat yang setengah-setengah diantara mistik Kejawen
yang masih campur baur dengan ajaran Islam. Hal ini merupakan akibat dari akulturasi culture yang ada sehingga mereka kurang mengetahui dimana sebenarnya kebenaran diantara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Stanton, Charles Mm dkk. 1999. Studi Islam Asia Tenggara.Surakarta : Muhamadiyah University Press
Hakim Atang Abd dan Jaih Mubarak. 2002. Metode Studi Islam.Bandung : PT Remaja Rosda Karya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar