KH. Ahmad Rifa’i & KH. Ahmad Dahlan Dua Sosok “Reformis” Yang Berbeda
KH. Ahmad Dahlan dan KH Achmad Rifa'i |
ULAMA sejatinya berfungsi sebagai panutan masyarakat. Memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama sebagaimana yang sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada masyarakat muslim sebelumnya. Ulama dituntut untuk bisa memberikan rujukan yang otentik tentang ajaran agama Islam atas problematika kehidupan masyarakat muslim yang tak pernah surut.Dalam wilayah ini ulama berperan sebagai pewaris ajaran Nabi. Sebagaimana hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Khathib melalui Jabir, Rasul Saw bersabda: “Muliakanlah oleh kalian para ulama, karena mereka adalah pewaris para nabi; barangsiapa memuliakan mereka berarti ia memuliakan Allah dan Rasul-Nya.”
Dalam hadits lain yang cukup panjang dijelaskan pula bahwa ulama adalah orang-orang yang terpilih diantara sekian banyaknya manusia, “Orang-orang yang terpilih dari umatku adalah para ulama dan para ulama yang terpilih adalah orang-orang yang paling belas kasihan. Ingatlah, sesungguhnya Allah SWT, benar-benar memberi ampunan kepada orang alim sebanyak empat puluh macam dosa, sebelum Dia memberi ampunan satu macam dosa terhadap orang yang jahil (tidak mengerti agama), ingatlah, sesungguhnya orang alim yang belas kasihan itu kelak di hari kiamat ia datang dalam keadaan bercahaya, dan sesungguhnya cahaya orang alim itu selalu menerangi jalan yang ditempuhnya sejauh antara arah timur dan arah barat, cahayanya itu seakan-akan bintang yang kemilau cahayanya.” (HR. Al-Qudha’i melalui Ibnu Umar r.a.)
Hadits ini menjelaskan bahwa ulama adalah sebaik-baik manusia setelah Nabi. Mereka adalah pewaris sekaligus penerus ajaran Nabi. Kemilau cahaya Ilahi dalam perangai mereka, mampu menerangi dunia yang gelap -antara timur dan barat- dari cahaya kemuliaan agama. Begitu luasnya pengaruh kemuliaan ulama, sampai-sampai Allah SWT mengabadikannya di dalam Al-Qur’an, “Dan demikian (pula) diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Fathir [35]: 28)
Pantas saja, kehidupan para ulama dahulu yang memperjuangkan integritas ajaran Islam selalu dirundung oleh berbagai macam tudingan, ancaman, serta hukuman yang sangat berat dari musuh Islam yang benci kepada pergerakan dakwah mereka. Hal itu tidak lekas menyurutkan pergerakan dakwah mereka. Mereka (para mujahid) lebih gencar lagi mendakwahkan Islam sebagai sebuah agama rahmatan lil’alamin. Berikut adalah profile dua tokoh pejuang Islam yang sama-sama memperjuangkan identitas Islam atas dasar Al-Qur’an dan as-Sunnah. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang cukup kontras diantara keduanya, yakni sikap terhadap Kolonial Belanda.
Ahmad Rifa’i, Ulama Sekaligus Pahlawan Nasional
Ia adalah ulama besar ahli Tarekat. Ia sangat gigih melawan kolonialisme Belanda ketika menancapkan pengaruhnya di Nusantara. Oleh karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudoyono memberikan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional, melalui Kepres Nomor: 089/TK/2004. Selain itu, Kyai Rifa’i juga dikenal sebagai sosok pemimpin rakyat yang tegas, ulet dan teguh dalam pendirian. Sehingga, DR. Karel Steenbring dalam salah satu tulisannya, menyebut Kyai Rifa’i sebagai reformis fundamentalis sejati. Kekuatan tokoh ini menurut beliau, terletak pada prinsip dan semangat juangnya, yakni tekad untuk mengembalikan Islam pada Al-Qur’an dan Sunnah. Ahmad Rifa’i dilahirkan di Desa Tempuran, Kabupaten Semarang pada hari Kamis tanggal 9 Muharram tahun 1200 Hijriah bertepatan dengan tahun 1786 Masehi (dalam versi lain 1785). Ayahnya bernama Muhammad Marhum bin Abi Sujak Wijaya, seorang penghulu di Kendal, Jawa Tengah. Ibunya bernama Siti Rohmah.
Ahmad Rifa’i merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara. Mungkin sudah menjadi ketentuan dari Allah bahwa dalam sejarahnya seorang calon mujahid yang tangguh akan mengalami cobaan yang bertubi-tubi. Begitu pula dengan Ahmad Rifa’i. Beliau ditinggal pergi oleh ayahanda tercinta untuk selama-lamanya. Pada waktu itu ia masih berusia enam tahun. Inilah awal cobaan yang diterima oleh Ahmad Rifa’i dari Allah Swt sebelum cobaan lain yang lebih besar menimpa dirinya. Setelah kepergian ayahnya, Ahmad Rifa’i diasuh oleh kakaknya, Nyai Rajiyah binti Muhammad, yang merupakan istri dari ulama pendiri dan pengasuh Pesantren Kaliwungu, KH. Asy’ari. Maka, dimulailah perjuangan Ahmad Rifa’i dalam menebarkan pesan-pesan ajaran agama Islam kepada masyarakat luas.
Ia berjuang dan menyebarkan Islam dengan gigih dan tak kenal menyerah. Relasi ia kumpulkan agar lebih mudah dalam menyebarkan pesan-pesan agama bagi masyarakat luas. Perjalanan hidup Kyai Rifa’i amatlah panjang dan berliku. Ketika masih kecil, ia mulai berdakwah dengan melakukan tabligh keliling di daerah Kendal dan sekitarnya. Disamping menyampaikan masalah tentang keagamaan, Rifa’i juga menyampaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat, terutama masalah tentang arti kemerdekaan dan perjuangan melawan kolonial. Bentuk dakwah seperti ini lah yang menjadi cikal bakal diasingkannya KH Ahmad Rifa’i beserta para ulama lainnya oleh pemerintah kolonial ke daerah Ambon, dan selanjutnya ke Manado. Namun, berkat kegigihan dan girah yang tinggi tak lekas menyurutkan semangat juang Kiayi Rifa’i beserta pengikutnya untuk terus mendakwahkan ajaran Islam. Kyai Rifa’i tetap konsisten dalam menyebarkan ajaran Islam. Bahkan, ketika ia diasingkan oleh kolonial, bukannya surut, pergerakannya malah semakin membuat pihak kolonial takut.
Pada tahun 1838, ia dibuang ke kalisalak, sebuah desa terpencil di Kecamatan Limpung, Batang, namun mujahid yang tak pernah patah arang ini pada tahun 1841 justru membangun sebuah Pesantren Al-Qur’an di kawasan Hutan Belantara itu. Pesantren baru ini berkembang pesat, lama kelamaan santrinya berdatangan dari berbagai penjuru pulau jawa. Tapi gara-gara aktivitasnya itulah pemerintah Belanda lagi-lagi gerah. Apalagi karena Kyai Rifai tetap saja menggembleng para patriot desa dengan semangat anti penjajah yang kafir. Dalam mengompori gerakannya, Kyai Rifa’i tampil menentang penjajah dengan Gerakan Tarajumah. Gerakan ini lebih menekankan pada aspek keagamaan dengan budaya masyarakat lokal. Ia membuka kesadaran masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai roh kehidupan dan perjuangan.
Kata Tarajumah, dialek Sunda untuk kata Tarjamah dari bahasa Arab, diambil dari kitab agama karangannya yang ia susun di sela-sela mengajar. Selain Tarajumah, Kyai Rifa’i berhasil menyusun Kitab Nazam Wikayah. Kitab ini berisi anjuran kepada kaum muslim Jawa untuk menentang dan melawan orang kafir Belanda serta mereka yang bersekutu dengannya. Slamete dunya akherat wajib kinira nglawan raja kafir sekuasane kafikira tur perang sabil lewih kadene ukara kacukupan tan kanti akeh bala kuncara (Keselamatan dunia-akherat wajib diperhitungkan melawan raja kafir sekemampuannya perlu dipikirkan‟ demikian juga perang sabil lebih dari pada ucapan cukup tidak menggunakan pasukan yang besar) Selain doktrin kepada pemerintah kolonial Belanda, K.H. Ahmad Rifa’i juga mengajarkan doktrin protesnya terhadap birokrat feodal tradisional yang menjadi kaki tangan Belanda. Merekalah musuh yang paling berbahaya bagi pergerakan dakwah Kyai Rifa’i beserta para pengikutnya.
Doktrin ini terlihat dalam Kitab Tarqhib. Tanbihun, tinemu negara Jawi rajane kufur Iku amar naha ora gugur Saben mukalaf ghalib ana kuasa milahur Uga bisa ghalib derajate luwih luhur Tinemu alim fasiq ngilmune ketanggungan Ningali ing negara Jawi dhalim rajane kinaweruhan Iku aweh pitutur tinemu linakonan Wajib amar naha sabab akeh kamaksiatan (Ingatlah! Sekarang didapati penjajah sudah menguasai negara Jawa Berjuang mencegah selalu diharapkan Tiap-tiap rakyat dewasa kalau mampu melaksanakan Kalau memang benar-benar mampu mencegahnya akan memperoleh kemulyaan Kamudian, kalau didapati ada alim penghianat yang ilmunya diragukan Otomatis mereka melihat Jawa jelas dikuasi penjajah dan menindas rakyat Sikapnya mestinya harus memberi penjelasan ke arah yang baik untuk dilaksanakan Sebab wajib bagi mereka mencegah kalau sudah terjadi wabah kemaksiatan). Dalam serangkaian tulisannya, Kyai Rifa’i selalu menyebut Belanda sebagai penjajah kafir, dan siapapun yang berkolaborasi dengan Belanda, maka hukumnya juga Kafir, dan halal untuk diperangi.
Pandangan seperti itu, akhirnya menjadi fatwa yang tersebar luas di kalangan masyarakat Kalisalak dan sekitarnya. Sehingga membuat Belanda sangat marah dan mengejeknya dengan julukan “Setan Kalisalak”. Bahkan atas suruhan Belanda pula, sejumlah ulama yang pro Belanda sempat menggelarinya sebagai “Ulama Sesat”. Karena sikapnya yang begitu keras memerangi Belanda, mengakibatkan ia harus mendapat kecaman, bahkan ancaman serius dari pemerintah Belanda, maupun ulama yang bersebrangan dengannya. Akhirnya larangan berdakwah pun dikeluarkan, tapi ia tetap jalan terus, bahkab semakin gencar. KH. Ahmad Rifa’i adalah ulama sekaligus mujahid, pejuang Islam, ia dicintai dan sangat dekat dengan rakyat, terutama karena ia mampu mengajar agama dengan bahasa lokal Jawa, campur Sunda, sebagai bahasa perantara. Ia menulis puluhan kitab Agama dalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Pegon, huruf Arab berbahasa Jawa. Tak kurang dari 55 judul kitabnya, kini masih dibaca oleh para pengikutnya. Kyai Rifa’i menyebut kitab-kitab dalam bahasa Jawa itu sebagai Tarajumah, yang berarti Terjemahan. Hingga saat ini masih ada beberapa murid Kyai Rifa’i yang melanjutkan dakwah dan perjuangannya. Antara lain, Abdul Aziz (Wonosobo) Ishak (Kendal), Imam Puro (Batang) Abu Salim (Pekalongan) dan masih banyak lagi. Para pengikut Kyai ini membentuk sebuah organisasi yang bernama Rifa’iyah, berpusat di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah. KH. Ahmad Rifa’i berpulang ke Rahmatullah pada tahun 1870 (pada umur 84 tahun) sewaktu diasingkan oleh Kolonial Belanda di Kampung Jawa Tondano, Manado, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kyai Mojo. Semoga semangat perjuangan dakwah beliau yang sangat tinggi bisa kita miliki dalam menjalankan kewajiban kita sebagai seorang muslim. Serta semoga ia mendapat tempat yang layak di sisi-Nya.
Ahmad Dahlan, Menentang Tradisi Lokal
Ahmad Dahlan adalah salah satu ulama besar di zamannya yang berani dengan keras menentang kebijakan Kolonial Belanda atas sistem kastaisasi pendidikan untuk kaum bumi putera. Ia lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Adapaun nama Ahmad Dahlan adalah pemberian gurunya sewaktu belajar di Kota Mekah.
Ahmad Dahlan adalah putera keempat dari tujuh bersaudara (lima saudaranya perempuan dan dua lelaki yakni ia sendiri dan adik bungsunya) dari pasangan dari K.H. Abu Bakar (seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu) dengan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu). Jadi, secara genealogis Ahmad Dahlan adalah keturunan darah biru dari Kasultanan Yogyakarta. Jika ditelusuri lebih jauh dalam silsilah keluarga, Ahmad Dahlan termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar diantara Wali Songo.
Silsilahnya lengkapnya ialah Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul’llah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim. Wajar saja jika pergerakan dakwah Ahmad Dahlan bersikap ideologis dan keras menentang kolonialisme Belanda di Nusantara. Keluasan ilmu Ahmad Dahlan di kemudian hari berawal dari pendidikan keluarga yang sangat mengutamakan pendidikan agama. Ia dididik oleh keluarganya melalui metode pendidikan nabawi dengan hidup di lingkungan pesantren. Sehingga wajar, Dahlan kecil memiliki pemikiran berbeda dari kebanyakan remaja seusianya pada waktu itu yang lebih sibuk dengan agenda hura-hura. Dahlan kecil lebih berfikir ke depan tentang realitas keagamaan masyarakat sekitar yang banyak mengusik naluri pembaharuannya di masa depan. Tak ayal, ketika usia 15 tahun ia memutuskan untuk pergi haji dan belajar agama Islam lebih dalam di Kota Mekah. Ketika berada di Mekah, Ahmad Dahlan semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah.
Interaksi ini sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran Dahlan ketika pulang ke Indonesia. Setelah lima tahun belajar di Mekah, tepatnya pada tahun 1888, saat berusia 20 tahun, Dahlan kembali ke kampungnya. Lalu, ia pun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, sekaligus dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Mekah hingga tahun 1904. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, pembaharu dari Minangkabau yang juga guru dari pendiri organisasi NU, KH. Hasyim Asyari. Sepulang dari Mekah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah, kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah (salah satu organisasi intern Muhammadiyah).
Pasangan ini mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman dari Yogyakarta. Perjalanan spiritual Ahmad Dahlan dalam memahami Islam cukuplah panjang dan berliku. Berguru ke berbagai tempat, serta mendapatkan banyak pemahaman tentang agama Islam.
Hal terpenting dari perjalanan spiritual Ahmad Dahlan adalah ketika ia berhasil mengubah paradigma masyarakat kampungnya yang bersifat ortodok menjadi lebih modern. Menurutnya, ortodok mengakibatkan kejumudan berfikir, stagnasi pemikiran yang semakin menurunkan aspek nalar intelektual. Hal ini menjadi nilai tambah bagi Kolonial Belanda yang sedang menancapkan faham kolonialismenya di Indonesia dan menjadi nilai kurang bagi bangsa dan negara Indonesia sendiri. Karena perilaku keagamaannya berlainan dengan kebiasaan masyarakat sekitar -seperti menjauhi tradisi sesajenan, mengubah arah kiblat- ia sempat digelari oleh masyarakat dengan sebutan “Kyai Kafir.” Hal terberat dalam perjalanan dakwah Ahmad Dahlan adalah ketika langgar tempat mengajinya dirobohkan oleh masyarakat sekitar karena mendapat hasutan dari kyai yang bersebrangan dengan idealismenya dalam menentang praktek keagamaan yang ortodok.
Perjuangan Ahmad Dahlan dalam memurnikan ajaran Islam dari unsur tradisi lokal yang puritan, banyak didorong oleh sang istri Siti Walidah, serta murid-murid setianya. Sempat beliau berputus asa ketika dakwah Islamiyahnya terganjal oleh hasutan Kyai pro Belanda. Namun, atas kebesaran hati Ahmad Dahlan serta dorongan kuat dari keluarga, terutama sang istri, akhirnya Ahmad Dahlan kembali membangun semangat untuk memurnikan niatnya dalam mendakwahkan ajaran Islam. Ahmad Dahlan adalah pendiri organisasi besar Muhammadiyah yang berpusat di Yogyakarta. Beliau mendirikan Muhammadiyah pada tanggal 18 Noember 1912 Masehi bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 Hijriah. Dalam website resmi PP Muhammadiyah, dijelaskan bahwa kata “Muhammadiyah” secara bahasa berarti “pengikut Nabi Muhammad”.
Penggunaan kata “Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbatan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: “Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.” Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas hanya di karesidenan-karesidenan, seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan.
Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Singkat cerita, pada tahun 1938 Muhammadiyah telah tersebar keseluruh wilayah Indonesia dan mulai mengembangkan program dakwahnya secara lebih besar.
Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
- KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
- Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Mengenai langkah pembaharuan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut: “Dalam bidang tauhid, KH. Ahmad Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik. Dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah. Dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.” Ketauhidan menjadi prioritas utama organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ini. Hal ini berawal dari realitas masyarakat Kauman Yogyakarta yang melakukan ritual keagamaan bercampur mistik. Ahmad Dahlan mengetahui bahwa hal tersebut adalah syirik yang sangat berbahaya dilakukan oleh seorang muslim karena perilaku syirik adalah hal yang paling dibenci oleh Allah dan tidak akan pernah diampuni.
Refrensi: http://tanbihun.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar