Pelopor Kebangkitan Nasional : Budi Utomo atau Jamiat Kheir ?
Setiap peringatan hari
kebangkitan nasional, bangsa Indonesia menyisakan perdebatan klasik soal
organisasi mana yang paling layak dianggap sebagai pelopor kebangkitan
itu. Ada dua kutub utama yang muncul sebagai pemicu tonggak semangat
kemerdekaan Indonesia tersebut, yaitu Budi Utomo dan Sarekat Islam.
Dalam pemahaman yang berkembang selama
ini, kelahiran Budi Utomo pada 1908 menjadi tonggak sejarah nasional
Indonesia. Budi Utomo yang didirikan oleh Soetomo dan para mahasiswa
Stovia memberikan kontribusi dalam gerakan nasionalnya. Namun sejumlah
pihak mempertanyakan organisasi yang berasal dari kaum priyayi ini,
karena dianggap tidak sepenuhnya memperjuangkan kaum pribumi. Pihak
tersebut menyatakan bahwa Budi Utomo bukanlah gerakan pertama yang
mempelopori kebangkitan nasional, melainkan Sarekat Islam yang berdiri
sejak 1911. Dalam persoalan pembebasan dan emansipasi, Budi Utomo
melibatkan kalangan priyayi di Jawa dan Madura sedangkan Sarekat Islam
memperjuangkan emasipasi hak-hak politik dan partisipasi politik rakyat
secara luas.
Jika ditelusuri kembali sejarah berdirinya Budi Utomo, organisasi ini berdiri sebagai kebijakan balance of power
dari pemerintah kolonial Belanda. Organisasi ini didirikan untuk
mengimbangi gerakan kebangkitan pendidikan Islam yang dipelopori oleh
Jamiat Kheir yang didirikan pada tahun 1901 di Jakarta, dengan proses
yang berliku-liku baru mendapat pengesahan tanggal 17 Juli 1905.
Organisasi modern pertama di Indonesia ini didirikan oleh elit Hadrami
dan bangsawan Arab dari keluarga sayyid bin Syahab dan al-Masyhur.
Diawali pada tahun 1898, beberapa tokoh
dari kalangan masyarakat Arab sepakat untuk membuat suatu perkumpulan
yang bertujuan membantu kondisi sosial masyarakat Arab. Berulangkali
para tokoh masyarakat Arab mengadakan rapat untuk mewujudkan cita-cita
mereka membantu kondisi sosial masyarakat muslim dan rencana mendirikan
lembaga pendidikan Islam modern, yang merupakan semangat penolakan
mereka terhadap kebijaksanaan kependidikan yang diterapkan pemerintah
kolonial Belanda. Cita-cita tersebut sesuai pula dengan gagasan mufti
Betawi sayid Usman bin Abdullah bin Yahya agar ummat Islam membangun
suatu lembaga pendidikan agama untuk menangkal kristenisasi melalui
sekolah-sekolah negeri
Pada tahun 1901 sebagai langkah permulaan
beberapa tokoh masyarakat Arab berinisiatif mendirikan sebuah
organisasi yang bergerak di bidang sosial pendidikan berdasarkan Islam,
yang diberi nama Jamiat Kheir. Pada mulanya organisasi ini dimaksudkan
sebagai wadah kerjasama dan perlindungan, tapi mencerminkan pula
sentimen keagamaan yang kuat dari pendiri-pendirinya, yang selalu siap
memberi bantuan pada tiap organisasi dan pergerakan yang condong pada
Islam. Karena anggota dan pemimpin organisasi ini pada umumnya terdiri
dari orang-orang yang berada, maka mereka dapat menggunakan sebagian
besar waktunya untuk perkembangan organisasi tanpa merugikan usaha
mereka untuk pencaharian nafkah. Mungkin hal ini pulalah yang menjadi
salah satu penyebab utama yang menunjang kemajuan dan perkembangan
Jamiat Kheir.
Banyak tulisan-tulisan anggota Jamiat
Kheir tentang pergerakan Islam di Indonesia, juga tentang apa yang
mereka anggap sebagai penindasan pemerintah Hindia Belanda terhadap
penduduk muslim Indonesia. Tulisan-tulisan ini dimuat dalam surat kabar
dan majalah di Istanbul, Syria dan Mesir, diantaranya dalam majalah al-Manar.
Karena publikasi Jamiat Kheir cukup luas, maka intimidasi yang
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sampai juga ke telinga dunia
internasional dan mendapat cukup perhatian dari mereka. Salah satu
diantaranya adalah dari pemerintahan Usmani di Turki. Pemerintah Usmani
Turki kemudian mengirimkan utusannya ke Batavia, yaitu Abdul Aziz
al-Musawi dan Galib Beik. Disebutkan bahwa tujuan kedatangan mereka
untuk menyelidiki keadaan kaum muslim di Indonesia.
Dapat dikatakan upaya penyelidikan ini
sedikit banyak dipengaruhi juga oleh berita-berita anggota-anggota
Jamiat Kheir yang dikirim ke Turki. Namun kedua konsul ini juga
mendapatkan tekanan dan intimidasi dari pemerintah Hindia Belanda.
Tekanan dan intimidasi dari pemerintahan Hindia Belanda kepada Jamiat
Kheir menyebabkan semakin eratnya hubungan persaudaraan antara
masyarakat Arab dan masyarakat pribumi Indonesia. Hal ini membuat
Belanda menjadi semakin takut dan cemas, apalagi Jamiat Kheir merupakan
penghubung antara bangsa Indonesia dengan pemerintah Usmaniyah di Turki
yang sangat simpati dengan perjuangan kemerdekaan di Indonesia.
Untuk mengantisipasi dan mengimbangi jiwa
nasionalisme Jamiat Kheir, maka atas inisiatif Bupati Serang yang juga
anggota organisasi Jamiat Kheir, Ahmad Djajadiningrat, dibangunlah
sebuah organisasi imbangan yang juga berada di Batavia. Organisasi
tersebut harus dipimpin pula oleh bangsawan karena murid-murid Jamiat
Kheir pun ada yang dari kalangan bangsawan Jawa, antara lain Ahmad
Dahlan yang kelak menjadi pendiri Muhammadiyah. Hal ini sejalan dengan
dugaan Haji Agus Salim yang menyatakan bahwa banyak anggota Budi Utomo
sebelumnya adalah anggota Jamiat Kheir.
Adapun nama organisasi tandingannya,
menurut Ahmad Djajadiningrat harus sama pula seperti Jamiat Kheir. Untuk
itu dipilihlah nama Budi Utomo. Nama ini sebagai pengalihbahasaan dari
bahasa Arab ke bahasa Jawa. Jamiat Kheir mempunyai arti ‘perkumpulan
yang baik’, kemudian jika diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa menjadi
Budi Utomo. Akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar di antara
keduanya, jika Jamiat Kheir lebih mengutamakan amal saleh menurut ajaran
Islam, Budi Utomo juga mengutamakan laku utama menurut ajaran Jawa.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya
‘Api Sejarah’ halaman 346 menulis : ‘apabila Jamiat Kheir mengimani
manusia sebagai ciptaan Allah, Sutomo mempercayai manusia sebagai
penjelmaan akhir Tuhan. Bila Jamiat Kheir menganjurkan sholat,
sebaliknya Sutomo sebagai pendiri Budi Utomo mempercayai dirinya sebagai
penjelmaan terakhir dari Tuhan, sesuai ajaran agama Jawa mengajarkan
manusia tidak perlu mendirikan shalat’.
Begitu pula dengan berdirinya Sarekat
Islam, di mana pendirinya Haji Samanhudi terpengaruh dan terinspirasi
oleh jiwa nasionalisme keturunan Arab yang tergabung dalam Jamiat Kheir,
membentuk organisasi Sarikat Dagang Islam yang kemudian hari menjadi
Sarikat Islam. Peran Jamiat Kheir membantu Sarikat Islam dalam
membangkitan perlawanan ekonomi terhadap Cina dibuktikan dengan
banyaknya anggota Jamiat Kheir yang menjadi pengurus dan anggota Sarikat
Islam.
Robert Van Niel dalam bukunya ‘The Emergence of the Modern Indonesia Elite’
menuliskan bahwa banyak anggota Sarikat Islam sebelum itu adalah
anggota Jamiat Kheir. Sekalipun dalam resolusi tahun 1911 diputuskan
untuk tidak lagi menerima yang bukan orang Indonesia asli sebagai
anggota, tetapi banyak orang Arab tetap menjadi anggota atau aktif
bekerja bersama Sarikat Islam. Di Jakarta, begitu hebat membanjirnya
pendaftaran anggota Sarikat Islam sehingga pada bulan Maret 1913, untuk
sementara penerimaan anggota baru harus dihentikan. Hal ini dimaksudkan
agar administrasi tidak menjadi kacau.
Dalam kalangan Sarikat Islam terdapat
perhatian yang besar untuk kegiatan pendidikan yang diusahakan oleh
Jamiat Kheir. Pada tahun 1913, Jamiat Kheir sering dijadikan tempat
rapat-rapat Sarikat Islam di Batavia. Di antara pengurusnya ialah
Abdullah bin Husein Alaydrus salah satu pengurus Jamiat Kheir. Dalam
kepengurusan Sarikat Islam, ia duduk sebagai ketua dan merupakan donatur
utama.
Di luar Jakarta, di distrik Jatinegara
dan Kebayoran dalam waktu yang singkat ribuan orang mendaftarkan diri
sebagai anggota. Perkembangan yang paling dahsyat dilaporkan dari cabang
Tangerang, di sini keanggotaan meningkat dalam waktu sebulan menjadi
sepuluh ribu orang. Di Tangerang, ketua Sarikat Islam di pegang oleh
sayid Usman al-Saqqaf dan sayid Abdurrahman al-Syatri sebagai
komisioner.
Keikutsertaan anggota Jamiat Kheir
menunjukkan dukungan masyarakat Arab pada Sarikat Islam. Di antaranya
Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, seorang ulama terkemuka di Batavia, Ahmad
bin Muhammad al-Musawa di Surabaya, Hasan Ali Surati, seorang keturunan
Arab yang lama tinggal di Surat India dan pedagang yang memainkan
peranan penting di belakang layar dalam kegiatan Sarikat Islam. Menurut
Rinkes, (penasehat pemerintah Belanda terhadap masalah-masalah
keislaman), pendirian Sarikat Islam dipengaruhi oleh ketergantungan
keuangannya pada golongan-golongan Arab yang mampu di Surabaya. Bahkan
menurut Korver, HOS Cokroaminoto seorang yang sangat bergantung pada
beberapa orang Arab terkemuka di Surabaya.
Dalam laporan rahasia tentang kongres
Sarikat Islam di Surabaya pada bulan Juli 1915 dari Dr. Hazeu dikatakan
bahwa ‘pengaruh Arab atas perkumpulan ini, atau lebih tepat atas
pengurus besarnya tampaknya juga cukup meningkat’. Selama kongres itu,
di antara orang yang sangat menonjol peranannya menurut Dr. Hazeu adalah
Hasan bin Semith, seorang keturunan Arab. Hasan bin Semith ditempatkan
pula dalam comisaris centraal Sarikat Islam tahun 1915.
Di bidang jurnalistik, perjuangan Jamiat Kheir ditandai dengan diterbitkannya surat kabar Oetoesan Hindia dengan HOS Cokroaminoto sebagai pemimpin redaksi, dan juga membiayai berdirinya surat kabar Medan Priyai
yang dipimpin oleh Raden Mas Tirtoadisuryo, di samping melakukan
korespondensi dengan surat-surat kabar dan majalah-majalah di luar
negeri seperti di Istambul Turki yang banyak memuat berita-berita dan
gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Misalnya majalah al-Manar
memperoleh informasi mengenai gerakan-gerakan Islam di Indonesia dari
perkumpulan Jamiat Kheir. Tidak heran jika pemerintah kolonial Belanda
mengawasi dengan ketat aktivitas perkumpulan itu.
Jamiat Kheir telah menunjukkan perlawanan
kepada pemerintah melalui artikel-artikel para anggotanya pada harian
di luar negeri khususnya negara-negara Arab. Kedatangan utusan Turki
menunjukkan bahwa Jamiat Kheir sebagai perkumpulan yang didirikan oleh
keturunan Arab memang menjalin hubungan dengan kekhalifahan Turki. Hal
ini menunjukkan pula bahaya Pan Islamisme dari Jamiat Kheir di mata
pemerintah. Perkumpulan Jamiat Kheir ini dianggap berbahaya oleh
pemerintah kolonial Belanda, karena pengaruhnya dapat membangkitkan
semangat Islam, semangat jihad fisabilillah di kalangan kaum muslimin
Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan
penekanan-penekanan terhadap anggota Jamiat Kheir. Pada tahun 1917
dilakukan penangkapan dan interogasi terhadap tokoh Jamiat Kheir dan
beberapa diantaranya kemudian dipenjarakan.
Pada akhirnya di tahun 1918 pemerintah
memutuskan bahwa Jamiat Kheir sebagai organisasi yang didirikan oleh
warga Timur Asing dilarang terlibat dalam kegiatan organisasi warga
Indonesia. Dan ditekankan bahwa izin berdiri Jamiat Kheir dapat dicabut
sewaktu-waktu. Menyadari kecurigaan pemerintahan terhadap perkumpulan
dan penekanan-penekanannya, Jamiat Kheir kemudian mengambil strategi
untuk kembali dalam Anggaran Dasarnya, khususnya dalam masalah
pendidikan. Karena Jamiat Kheir sebagai perkumpulan sosial telah
dicurigai pemerintah akibat kegiatan politiknya, maka pada tanggal 17
Oktober 1919 dilakukan perubahan bentuk perkumpulan menjadi yayasan
pendidikan. Pada tanggal tersebut Jamiat Kheir berubah menjadi Yayasan
Pendidikan Jamiat Kheir berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan School
Djameat Geir, tertanggal 17 Oktober 1919 yang dimuat dalam akta nomor
143 notaris Jan Willem Roeloffs Valk di Jakarta. Sejak saat itu kegiatan
Jamiat Kheir dilakukan melalui wadah Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir.
Melihat peran dan kiprah Jamiat Kheir
dalam gerakan kebangkitan kesadaran nasional Indonesia, mengapa kabinet
Hatta (1948-1949) menetapkan Budi Utomo sebagai pelopor kebangkitan
nasional, padahal jelas-jelas organisasi tersebut menolak pelaksanaan
cita-cita persatuan Indonesia dengan menolak sistem penerimaan
keanggotaan yang tidak terbatas dari bangsawan Jawa semata, dan
mengekalkan serta menguatkan agama Jawa. Bahkan Budi Utomo melalui
medianya Djawa Hisworo mengangkat artikel yang menghina Rasulullah saw.
Mengapa bukan Jamiat Kheir yang dijadikan tonggak sebagai pelopor
kebangkitan kesadaran nasional Indonesia, yang secara faktual telah
berjuang di hampir semua bidang, baik pendidikan, politik, ekonomi, dan
jurnalistik. Apakah karena mereka beragama Islam dan berkewarganegaraan
Timur Asing ?
Referensi :
- Al-Gadri, Hamid, Dutch Policy Against Islam and Indonesians of Arab Descent in Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1994.
- Al-Masyhur, Idrus Alwi, Jamiat Kheir Mengangkat Martabat Bangsa, Jakarta, al-Mustarsyidin, 2006.
- Kesheh , Natalie Mobini, The Hadrami Awakening, Community and Identity in The Netherlands East Indies 1900-1942, New York, Southeast Asia Program Cornell University, 1999.
- Korver, APE, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil ?, Jakarta, Grafitipers, 1985.
- Robert Van Niel, The Emergence of the Modern Indonesia Elite, DenHaag, Van Hoeve, 1960.
- Simbolon, Parakitri T, Menjadi Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006.
- Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah, Bandung, Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar