Khataman dan Imtihan

Khataman dan Imtihan

Selasa, 21 Mei 2013

Tarsius Siau

Tarsius Siau (Tarsius tumpara) Si Imut Terancam Punah

Tarsius siau atau Tarsius tumpara memang imut penampilannya, namun tarsius asli pulau Siau, Sulawesi ini juga terancam punah. Bukan sekedar diberikan status Critically Endangered oleh IUCN Red List, bahkan tarsius tumpara atau Siau Island Tarsier pun termasuk salah satu dari 25 Primata Paling Terancam Punah di Dunia.
Sesuai namanya, Si Imut Tarsius Siau merupakan hewan endemik yang hanya bisa dijumpai di pulau Siau, Sulawesi Utara. Meskipun diduga juga terdapat di beberapa pulau kecil di sekitar pulau Siau. Hewan ini baru ditemukan pada tahun 2005 oleh Dr Shekelle.
Tarsius siau dikenal sebagai Siau Island Tarsier dalam bahasa Inggris. Sedangkan nama ilmiah (nama latin) salah satu anggota famili Tarsiidae dari genus Tarsius ini adalah Tarsius tumpara. Kata ‘tumpara’ merupakan bahasa daerah Siau untuk menyebut tarsius.
Tarsius Siau (Tarsius tumpara)
Tarsius Siau (Tarsius tumpara) nan imut
Ciri-ciri dan Diskripsi Tarsius Siau. Seperti halnya jenis tarsius lainnya, tarsius siau (Tarsius tumpara) mempunyai bulu abu-abu gelap dengan bintik-bintik coklat. Pun Tarsius siau memiliki ekor panjang yang tidak berbulu, kecuali pada bagian ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang. Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar. Mata Tarsius siau pun sangat besar dan memiliki kepala yang unik karena mampu berputar hingga 180 derajat ke kanan dan ke kiri layaknya burung hantu.
Tarsius siau (Tarsius tumpara) merupakan hewan nokturnal beraktifitas pada sore hingga malam hari sedangkan siang hari lebih banyak dihabiskan untuk tidur. Makanan utamanya adalah serangga seperti kecoa, dan jangkrik namun juga memakan reptil kecil.
Habitat, Populasi, dan Konservasi. Tarsius siau (Tarsius tumpara) merupakan hewan endemik yang hanya dijumpai di pulau Siau, Sulawesi Utara. Dimungkinkan primata imut namun langka ini juga terdapat di beberapa pulau kecil di dekat pulau Siau.
Populasi tarsius siau diperkirakan hanya 1.300-an ekor saja (2009) yang hidup di sekitar kolam air tawar kecil di ujung selatan pulau Siau, di tebing curam di sisi pantai timur pulau, dan di lereng dekat kaldera Gunung Karengetang. Populasi tarsius ini diperkirakan mengalami penurunan hingga 80% dalam tiga generasi terakhir.
Mengingat populasi Tarsius siau (Tarsius tumpara) yang kecil, hidup di satu tempat (pulau) kecil, adanya ancaman erupsi gunung Karengetang, bertambah pesatnya populasi manusia di pulau Siau, dan penurun populasi dalam 3 generasi terakhir, menjadi ancaman serius bagi kelestarian tarsius imut ini. Karenaya IUCN Red List memasukkan tarsius siau dalam daftar spesies Critically Endangered atau kategori dengan tingkat keterancaman tertinggi.
The IUCN Species Survival Commission Primate Specialist Group pun memasukkan Tarsius siau dalam daftar The World’s 25 Most Endangered Primates (25 Primata Paling Terancam di Dunia) bersama tiga primata Indonesia lainnya yakni Orangutan Sumatera, Kukang Jawa, dan Simakobu (Monyet Ekor Babi).
Tarsius siau (Tarsius tumpara) si Imut yang baru ditemukan pada 2005 silam musti langsung menyandang gelar sebagai salah satu primata paling langka se-Dunia. Nasib yang berbanding terbalik dengan imut tubuhnya.

Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Mamalia; Ordo: Primata; Famili: Tarsiidae; Genus: Tarsius; Spesies: Tarsius tumpara.

Burung Kacamata Sangihe

Burung Kacamata Sangihe (Zosterops nehrkorni)

Burung kacamata sangihe atau Sangihe White-eye (Zosterops nehrkorni) merupakan salah satu dari sekitar 22an jenis burung kacamata (pleci) yang terdapat di Indonesia. Sayangnya, burung kacamata sangihe yang endemik pulau Sangihe ini tergolong jenis burung langka di Indonesia.
Keberadaan burung kacamata sangihe bahkan terancam punah yang oleh IUCN Redlist dan birdlife dimasukkan dalam status konservasi ‘ktitis’ (Critically Endangered). Status keterancaman tertinggi lantaran diperkirakan burung endemik Sangihe ini jumlahnya kurang dari 50 ekor burung dewasa.
Burung kacamata sangihe
Burung kacamata sangihe, tersisa 50 ekor saja
Burung kacamata sangihe dalam bahasa Inggris disebut sebagai Sangihe White-eye dengan nama ilmiah (latin) Zosterops nehrkorni. Dulunya burung ini dianggap sebagai bagian dari spesies Zosterops atrifrons (Kacamata dahi-hitam). Namun kemudian spesies kacamata dahi-hitam ini dibedakan menjadi tiga spesies yakni Zosterops atrifrons, Zosterops stalkeri (Kacamata seram), dan Zosterops nehrkorni (Kacamata sangihe).
Diskripsi Ciri dan Perilaku. Burung kacamata sangihe atau Sangihe White-eye (Zosterops nehrkorni) berukuran kecil sekitar 12 cm. Tubuh bagian atas berwarna hijau zaitun dengan tunggir warna kuning-hijau mencolok. Ekor berwarna hijau-hitam gelap. Dahi berwarna hitam. Lingkaran mata berwarna putih dam agak lebarlebar. Pipi, tenggorokan dan penutup ekor bawah berwarna kuning cerah. bagian bawah lainnya dari burung kacamata sangihe berwarna putih-mutiara dengan sisi tubuh abu-abu. Paruh dan kaki jingga pucat.
Suara burung kacamata (pleci) dari Sangihe ini hampir mirip suara burung kacamata dahi-hitam namun lebih tipis dan halus. Rentetan siulannya mempunyai nada yang lebih cepat.
Burung endemik sangihe yang langka dan terancam punah ini sering beraktifitas dibagian tengah dan atas kanopi hutan pada hutan primer di daerah perbukitan. Makanan utama burung kacamata sangihe adalah serangka meskipun diduga juga mengkonsumsi aneka buah.
Habitat, Penyebaran, Populasi dan Konservasi. Habitat burung kacamata sangihe adalah hutan primer pada daerah perbukitan dengan ketinggian antara 700-1000 meter dpl.
Persebaran burung pleci ini terbatas dan merupakan burung endemik yang hanya bisa dijumpai di pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Bahkan di pulau Sangihe ini, burung kacamata sangihe (Zosterops nehrkorni) hanya dapat dijumpai di kawasan Gunung Sahendaruman dan Sahengbalira dengan luas habitat hanya sekitar 8 km2.
Populasi burung kacamata sangihe atau Sangihe White-eye pun tidak diketahui pasti. Namun birdlife.org memperkirakan jumlah populasi burung endemik ini tidak lebih dari 50 ekor burung dewasa saja. Jumlah yang sangat sedikit untuk ukuran burung kecil pemakan serangga. Ancaman utama Zosterops nehrkorni adalah hilangnya habitat.
Berdasarkan perkirakan jumlah populasi, persebarannya yang endemik dengan habitat yang sangat sempit, birdlife dan IUCN Redlist sepakat untuk memberikan status keterancaman tertinggi pada burung kacamata sangihe. Burung ini diberikan status konservasi Critically Endangered (Kritis).
Ironisnya, meskipun populasinya diyakini kurang dari 50 ekor dengan habitat hanya seluas 8 km2 serta dikategorikan sebagai spesies Critically Endangered, anehnya burung kacamata sangihe justru tidak termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi di Indonesia.
Semoga saja burung langka, kacamata sangihe mampu terus bertahan meski dengan habitat dan perhatian yang minim dari kita.

Celepuk Siau




Celepuk Siau (Otus siaoensis) Langka Endemik Sulawesi Utara

Celepuk siau (Otus siaoensis) merupakan salah satu burung langka dan terancam punah di dunia. Burung celepuk siau adalah burung endemik yang hanya terdapat di sebuah pulau kecil bernama “Siau” di Kabupaten Sangihe, Propinsi Sulawesi Utara. Burung yang masuk dalam kategori keterancaman tertinggi, Kritis (Critically Endangered) ini tidak lagi pernah terlihat kembali sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1866.
Celepuk siau (Otus siaoensis).
Celepuk siau merupakan anggota burung hantu (ordo Strigiformes) yang dalam bahasa Inggris biasa disebut sebagai Siau Scops-owl. Sedangkan dalam nama ilmiah (latin) celepuk ini diberi nama Otus siaoensis.
                                                      
Ciri, Habitat, dan Persebaran. Belum banyak data yang bisa menggambarkan ciri, habitat dan persebaran burung ini. Burung celepuk siau mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil, panjangnya sekitar 17 cm. Seperti burung hantu lainnya, terutama celepuk, burung endemik pulau Siau ini mempunyai ukuran kepala dan sayap yang relatif besar.
Burung langka ini termasuk binatang nokturnal yang lebih banyak aktif di malam hari terutama untuk berburu mangsa. Di siang hari, celepuk siau (Otus siaoensis) banyak menghabiskan waktunya untuk beristirahat.
Burung celepuk siau diyakini hanya terdapat di satu tempat yakni pulau Siau (Koordinat: 2°43’22″N   125°23’36″E) di Kabupaten Sangihe, Propinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Di duga binatang endemik ini mendiami daerah di sekitar Danau Kepetta yang terletak di bagian Selatan Pulau Siau. Selain itu juga di sekitar Gunung Tamata yang berada di bagian tengah Pulau Siau. Meskipun populasi di habitat tersebut hanya berdasarkan pengakuan masyarakat sekitar.
Lokasi pulau Siau, Sulawesi Utara (ditunjukkan anak panah)
Populasi dan Konservasi. Populasi burung endemik ini tidak diketahui dengan pasti, namun berdasarkan persebarannya yang hanya terbatas di pulau dan penampakan langsung yang jarang sekali, celepuk siau dikategorikan oleh IUCN Redlist dalam status konservasi Kritis (Critically Endangered) sejak tahun 2000. CITES juga memasukkan celepuk ini dalam Apendix II sejak 1998.
Bahkan penampakan visual burung ini secara langsung tidak pernah terjadi lagi sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1866. Langkanya celepuk siau (Otus siaoensis) dimungkinkan karena berkurangnya habitat akibat deforestasi hutan untuk pemukiman maupun lahan pertanian.
Anehnya, meskipun telah terdaftar sebagai salah satu burung yang paling langka dan terancam kepunahan tapi ternyata burung ini tidak termasuk dalam salah satu satwa yang dilindungi di Indonesia. Entah karena kealpaan, sehingga burung ini lolos dari daftar satwa yang dilindungi Undang-undang Indonesia.
Incaran Penggemar Burung. Jumlah populasi, endemikitas, dan jarangnya penampakan membuat celepuk siau (Otus siaoensis) menjadi incaran para pengamat dan peneliti burung dari seluruh penjuru dunia. Namun hingga kini tidak satupun para peneliti tersebut yang dapat mengungkap keberadaan celepuk siau, apalagi bertemu langsung dengan spesies ini.
Organisasi sebesar UICN Redlist bekerja sama dengan Birdlife Internasional pernah mengadakan penelitian keberadaan burung celepuk siau ini pada 1998. Namun survey selama 32 hari itu tidak berhasil menemukan data keberadaan burung endemik langka ini, kecuali berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat.
Hingga saat ini beberapa LSM lingkungan hidup lokal masih terus memburu eksistensi dan mengumpulkan data tentang burung celepuk siau ini dengan sokongan dana dari Wildlife Conservation Society.
Mungkin diantara sobat pembaca Alamendah’s Blog ada yang tertarik untuk ikut serta melakukan riset keberadaan burung endemik pulau Siau, Sulawesi Utara ini?. Dengan menemukan atau memfoto salah satu spesies endemik ini bisa dipastikan sobat akan menjadi selebritis baru di dunia taksonomi dan konservasi burung.

Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Aves; Ordo: Strigiformes; Famili: Strigidae; Genus: Otus; Spesies: O. siaoensis

Nama binomial: Otus siaoensis (Schlegel, 1873). Nama Indonesia: Celepuk siau.

Jalak Putih

Jalak Putih Marak di Sangkar Langka di Alam

Jalak Putih (Sturnus melanopterus) merupakan salah satu burung yang marak (mudah ditemukan) di dalam sangkar, namun jalak putih justru menjadi burung langka yang sulit ditemukan di habitat aslinya, alam. Burung jalak putih yang endemik Jawa dan Bali sejak lama memang telah menjadi salah satu binatang peliharaan favorit, terutama di masyarakat Jawa.
Tidak mengherankan jika kemudian jalak putih dinobatkan menjadi fauna identitas di dua kabupaten, yakni kabupaten Madiun (Jawa Timur) dan kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah). Sayangnya, keberadaan burung yang dilindungi ini semakin sulit ditemukan di alam liar.
Burung jalak putih disebut juga jalak uren putih. Burung langka ini mempunyai nama latin Sturnus melanopterus yang mempunyai sinonim Acridotheres melanopterus. Nama hewan endemik Jawa dan Bali ini dalam bahasa Inggris adalah Black-winged Starling, meskipun terkadang disebut juga sebagai Black-winged Myna dan White-breasted Starling.
Jalak putih
Burung jalak putih
Ciri dan Diskripsi Burung Jalak Putih. Jalak putih atau jalak uren putih (Sturnus melanopterus), sekilas mirip jalak bali (Leucopsar rothschildi). Berukuran tubuh sekitar 23 cm dengan mayoritas bulu berwarna putih. Burung jalak putih dewasa hampir seluruh bulunya berwarna putih kecuali bagian ekor sayap yang berwarna hitam. Sedang pada burung muda, bagian kepala, leher, punggung, dan penutup sayap berwarna kelabu. Di sekitar mata terdapat kulit yang tidak ditumbuhi bulu dan berwarna kuning, iris mata coklat tua, paruh kekuningan, dan kulit kaki kuning.
Jalak putih (Sturnus melanopterus) memiliki tiga ras, yakni ras Jawa dan Madura (melanopterus), ras pulau Bali (tertius), dan ras peralihan di ujung Jawa timur (tricolor). Pada ras Jawa dan Madura, burung jalak putih memiliki punggung dan penutup sayap berwarna putih, sedangkan pada dua ras lainnya berwarna lebih kelabu.
Kicauan burung jalak putih umumnya terdiri atas dua macam. Suara kicauan yang berupa siulan keras dan serak berbunyi mirip “kwr’ik”, “cr’k-t’ik, cr’k-t’ik” dan suara kicauan khas yang berbunyi seperti “wriit, tr’k, ciikciik-wit-c’kc’kc’kc’k”.
Burung jalak putih hidup secara berpasangan atau dalam kelompok kecil yang hidup mendiami hutan dataran rendah dan hutan monsun. Sebagai burung endemik sebaran jalak putih (Sturnus melanopterus) hanya ada di pulau Jawa (terutama Jawa Timur), Madura, Bali dan Nusa Penida, meskipun terkadang mengembara hingga ke Lombok.
Burung jalak putih
Burung jalak putih
Populasi dan Konservasi. Burung jalak putih memang menjadi salah satu burung favorit untuk dipelihara bagi penggemar burung. Namun, keberadaan burung ini di habitat aslinya semakin hari justru semakin langka. BirdLife International memprediksi populasi burung jalak putih telah mengalami penurunan hingga 80% dalam 10 tahun terakhir. Berdasarkan survei BirdLife International (2001) populasinya diperkirakan berkisar antara 1.000 – 2.499 ekor saja yang hidup di alam liar. Penurunan populasi burung jalak putih ini terutama disebabkan oleh perburuan liar untuk dijadikan hewan peliharaan dan penggunaan pestisida yang berlebihan pada bidang pertanian.
Lantaran laju penurunan populasi yang sangat cepat dan masih maraknya perburuan liar, IUCN Redlist sejak tahun 2010 memasukkan jalak putih dalam daftar spesies Critically Endangered (Sangat Terancam Punah) setelah sebelumnya (2000) mendaftarnya sebagai Endangered (Terancam Punah).
Di Indonesia sendiri, selain ditetapkan sebagai fauna identitas (hewan maskot) di kabupaten Madiun dan Wonogiri, jalak putih pun termasuk salah satu binatang yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.
Akankah kita hanya akan menjumpai burung jalak putih yang endemik Jawa dan bali ini di dalam sangkar saja?. Jangan sampai terjadi, tentunya.
Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Aves; Ordo: Passeriformes; Famili: Sturnidae; Genus: Sturnus; Spesies: Sturnus melanopterus.

Kodok Merah

Kodok Merah atau Leptophryne cruentata Kodok Endemik Langka

Kodok Merah atau Leptophryne cruentata merupakan jenis kodok endemik yang langka. Kodok Merah merupakan spesies ampibi endemik Jawa Indonesia yang hanya bisa ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Kodok Merah pun menjadi salah satu hewan langka yang terancam punah. Sehingga tidak berlebihan jika kemudian IUCN Redlist mencatatnya dengan status Critically Endangered (Kritis). Meskipun di Indonesia sendiri Kodok ini luput dari daftar satwa yang dilindungi.
Kodok Merah sering kali disebut juga sebagai Katak Darah. Kodok Merah dalam bahasa Inggris disebut sebagai Bleeding Toad atau Fire Toad. Sedangkan dalam bahasa latin (nama ilmiah) hewan ini disebut Leptophryne cruentata. Nama latinnya ini mempunyai arti kurang lebih ‘berdarah’.
Kodok Merah (Leptophyrne cruentata)
Kodok Merah (Leptophyrne cruentata)
Diskripsi, Ciri, dan Populasi. Kodok Merah (Leptophryne cruentata) berukuran kecil dan ramping. Ciri khasnya adalah wana kulitnya yang dipenuhi bintik-bintik berwarna merah darah. Kulit katak merah berwarna hitam dengan bintik-bintik merah atau kuning atau putih marmer. Lantaran warna merahnya yang menyerupai darah, kodok ini biasa disebut juga sebagai katak merah.
Kodok ini menyukai daerah dekat air yang mengalir deras di daerah berketinggian antara 1.000 – 2.000 meter dpl. Habitatnya hanya diperkirakan hanya terdapat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Selebihnya tentang perilaku Kodok Merah (Bleeding Toad) belum banyak yang diketahui.
Pada tahun 1976 diperkirakan populasi katak ini masih sangat melimpah. Pada tahun 1987 dan paska meletusnya gunung Galunggung populasinya mulai jarang ditemui. Saking langkanya pada periode 90-an hingga 2003 hanya dapat ditemukan satu ekor Kodok Merah di sekitar air terjun Cibeureum.
Karena daerah sebarannya yang sangat sempit (endemik lokal) dan populasinya yang menurun drastis IUCN Redlist memasukkannya dalam daftar spesies Critically Endangered (Kritis) yang merupakan tingkat keterancaman tertinggi sebelum punah.
Sayangnya, meskipun populasinya sangat sedikit dan sebarannya yang sangat sempit, hewan langka, hewan endemik, sekaligus hewan unik ini tidak termasuk dalam satwa yang dilindungi di Indonesia.
Mungkin pemegang kebijakan di negeri ini terlalu menganggap remeh seekor kodok. Padahal kodok dan katak mempunyai peran penting sebagai indikator perubahan lingkungan. Dan yang tak kalah pentingnya, Kodok Merah merupakan salah satu aset negeri ini yang dititipkan kepada kita.
Kalsifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Amphibia; Ordo: Anura; Famili: Bufonidae; Genus: Leptophryne; Spesies: Leptophryne cruentata.
Referensi dan gambar:

PP No. 7 Tahun 1999

PP No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

P R E S l D E N
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1999

TENTANG

PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
  1. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dan sumber daya alam yang tidak tenilai harganya sehingga kelestariannya perlu dijaga melalui upaya pengawetan jenis;
  2. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
  1. Pasal 5 Ayat (2) dan Pasa! 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
  3. Undang-undang Nomor 9 Tahun, 1.985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
  4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nonior 49Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
  5. Udang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 No.46, Tambahan Lembaran negara No. 3478);
  6. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, lkan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);
  7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenal Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
  8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Hngkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3544);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestanan Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3776);
M E M U T U S K A N
Menetapkan :
PERATURAN PEMENNTAH TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA.
BAB l
KETENTUAN UMUM
Pasal l
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
  1. Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah.
  2. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya menjaga keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah.
  3. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan atau sama di luar habitatnya (ex situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non pemenntah.
  4. Identifikasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengenal jenis, keadaan umum status populasi dan tempat hidupnya yang dilakukan di dalam habitatnya.
  5. Inventansasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengetahul kondisi dan status populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan di dalam dan di luar habitatnya maupun di lembaga konservasi.
  6. Jenis tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut species atau anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam maupun di luar habltatnya.
  7. Populasi adalah kelompok individu dan jenis tertentu di tempat tertentu yang secara alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk mencapai keseimbangan populasl secara dinamis sesuai dengan kondisi habitat beserta lingkungannya.
  8. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang kehutanan.
Pasal 2
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk :
  1. menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dan bahaya kepunahan;
  2. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;
  3. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada; agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.
BAB II
UPAYA PENGAWETAN
Pasal 3
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya:
  1. penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
  2. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
  3. pemeliharaan dan pengembangbiakan.
BAB III
PENETAPAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
Pasal 4
  1. Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan:
    1. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
    2. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
  2. jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.
  3. Perubahan dan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaikknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan otoritas keilmuan (Scientific Authority).
Pasal 5
  1. Suatu.jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kritena :
    1. mempunyai populasi yang kecil;
    2. adanya penurunan yang tajam pada jumlah Individu dialam;
    3. daerah penyebarannya yang terbatas (endemik).
  2. Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kritena sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan upaya pengawetan.
Pasal 6
Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
BAB IV
PENGELOLAAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA SERTA HABITATNYA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah ini tidak- mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam,
Pasal 8
  1. Pengawetan Jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya (in situ).
  2. Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitawya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan populasi.
  3. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan :
    1. Identifikasi:
    2. Inventarisasi;
    3. Pemantauan;
    4. Pembinaan habitat dan populasinya;
    5. Penyelamatan jenis;
    6. Pengkajian, penelitian dan pengembangan.
  4. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar babitatnya (ex- situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan :
    1. Pemeliharaan;
    2. Pengembangbiakan;
    3. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
    4. Rehabilitasi satwa;
    5. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.
Bagian Kedua
Pengelolaan dalam Habitat (In Situ)
Pasal 9
  1. Pemerintah melaksanakan identifikasi di dalam habitat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a untuk kepentingan penetapan golongan jenis tumbuhan dan satwa.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenal identifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 10
  1. Pemerintah melaksanakan Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b, untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa.
  2. Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi survei dan pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa.
  3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
  4. Detention labia languet magenta inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan. avat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 11
  1. Pemerintah melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c, untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi jenis tumbuhan dan satwa dan waktu ke waktu.
  2. Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui survei dan pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa secara berkala.
  3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 12
  1. Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayal (3) huruf d, untuk menjaga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan seimbang dengan daya dukung habitatnya.
  2. Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan :
    1. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
    2. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa pohon sumber makan satwa;
    3. Pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa;
    4. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
    5. Penambahan tumbuhan atau satwa ash;
    6. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
  3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 13
  1. Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya kepunahan yang masih berada di habitatnya.
  2. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) d1laksanakan melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan atau pemindahan dan habitatnya ke habitat di lokasi lain.
  3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 14
  1. Pemerintah melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuban dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f, untuk menunjang tetap tenaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.
  2. Pengkajian, penelitian dan pengembangan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan Uji coba.
  3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenal pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Pengelolaan, di Luar Habitat (Ex Situ)
Pasal 15
  1. Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis tumbuhan dan satwa.
  2. Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan satwa di lembaga konservasi.
  3. Pemeliharaan jenis diluar habitat wajib memenuhi syarat :
    1. memenuhi standar kesehatan tumbuhan, dan satwa;
    2. menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman;
    3. mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 16
  1. Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b dilaksanakan untuk pengembangan populasi di alam agar tidak punah.
  2. Kegiatan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan tetap menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik.
  3. Pengembangbiakan jenis diluar habitatnya wajib memenuhi syarat:
    1. menjaga kemurman jenis;
    2. menjaga keanekaragaman genetik;
    3. melakukan penandaan dan sertifikasi;
    4. membuat buku daftar silsilah (Studbook).
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 17
  1. Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c dilakukan sebagai upaya untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.
  2. Kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalain bentuk penehtian dasar, terapan dan Uji coba.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 18
  1. Rehabilitasi satwa diluar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf d dilaksanakan untuk mengadaptasikan satwa yang karena suatu sebab berada di lingkungan manusia, untuk dikembalikan ke habitatnya.
  2. Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit, mengobati dan memilih satwa yang layak untuk dikembahkan ke habitatnya.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 19
  1. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa diluar kawasan habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf e dilaksanakan untuk mencegah kepunahan lokal jenis tumbuhan dan satwa akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia.
  2. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan :
    1. memindahkan jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya yang lebih baik;
    2. mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin,menyerahkan atau menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak, cacat atau tidak memungkinkan hidup lebih baik memusnahkannya.
Pasal 20
  1. (1) Pengelolaan di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah.
  2. (2) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalain ayat (1).
Pasal 21
  1. Jenis tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 dapat dilepaskan kembali ke habitatnya dengan syarat :
    1. habitat pelepasan merupakan bagian dan sebaran asli jenis yang dilepaskan;
    2. tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki keragaman genetik yang tinggi;
    3. memperhatikan keberadaan penghuni habitat.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelepasan kembah jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri
BAB V
LEMBAGA KONSERVASI
Pasal 22
  1. Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurian jenisnya.
  2. Disamping mempunyai fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Lembaga Konservasi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.
  3. Lembaga Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Musium Zoologi, Taman Satwa Khusus, Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbanum dan Taman Tumbuhan Khusus.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 23
  1. Dalam rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat memperoleh tumbuhan dan atau satwa baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui:
    1. pengambilan atau penangkapan dan alam;
    2. hasil sitaan;
    3. tukar menukar;
    4. pembelian, untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa untuk Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 24
  1. Dalam rangka pengembangbiakan dan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa, Lembaga Konservasl dapat melakukan tukar menukar tumbuhan atau satwa yang dihndungi dengan lembaga jenis di luar negeri.
  2. Tukar inenukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan jenis-jenis yang nilai konservasinya dan jumlahnya seimbang.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB VI
PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN
DAN SATWA YANG DILINDUNGI
Pasal 25
  1. Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dan jenis yang dilindungi dan dan ke suatu tempat di wilayah Repubhk Indonesia atau dan dan keluar wilayah Repubhk Indonesia dilakukan atas dasar ijin Menteri.
  2. Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus :
    1. dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dan Instansi yang berwenang;
    2. dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengemi tata cara penginman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam avat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB VII
SATWA YANG MEMBAHAYAKAN KEHIDUPAN MANUSIA
Pasal 26
  1. Satwa yang karena suatu sebab keluar dan habitatnya dan membahayakan kehidupa manusia, harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk dikembalikan ke habitatnya atau apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali kehabitatnya, satwa dimaksud dikirim ke Lembaga Konservasi untuk dipelihara.
  2. Apabila cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, maka satwa yang mengancam jiwa manusia secara langsung dapat dibunuh.
  3. Penangkapan atau pembunuhan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh petugas yang berwenang.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai petugas dan perlakuan terhadap satwa yang membahayakan kehidupan manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 27
  1. Dalam rangka pengawetan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui pengawasan dan pergendalian.
  2. Pengawasan dan pengendalian sebagaimana almana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan melalui tindakan:
    1. preventif; dan
    2. represif.
  4. Tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi :
    1. penyuluhan;
    2. pelatihan penegaklan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum;
    3. penerbitan buku-buku manual identifikasl jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan yang tidak dilindungi.
  5. Tindakan represif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b meliputi tindakan penegakan hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum terhadap usaha pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka segala peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dicabut atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januan 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januarl 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETANAT KABINET N.
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I
Lambock V. Bahhattands
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMENNTAH REPUBHK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1999
TENTANG
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
UMUM
Bangsa Indonesia dikarunia oleh Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terdiri dan sumber daya alam hewani, sumber daya alam nabati dan ekosistemnya.
Sumber daya alam hayati tersebut dapat dijadikan salah satu modal dasar pembangunan pembangunan nasional Indonesia yang berkelanjutan.
Agar sumber daya alam hayati yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan modal dasar pembangunan nasional Indonesia tersebut tidak cepat punah sehingga dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka sumber daya alam hayati tersebut perlu dikonservasikan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Mengingat akan kepentingan-kepentingan tersebut di atas, dan sebagai pelaksanaan dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan kegiatan pengawetan jenis tumbuhan dan satwa diperlukan peraturan perundang-undangan berbentuk Peraturan Pemerintah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Kemampuan suatu populasi untuk berkembang bergantung pada keseimbangan antara kemampuan reproduksi dan kondisi-kondisi alam yang mempengaruhinya. Pada kondisi lingkungan yang paling mendukung, keseimbangan populasi akan tercapai pada saat daya dukung habitatnya terpenuhi.
Populasi suatu jenis dapat terbagi-bagi kedalam kelompok-kelompok yang dapat disebut sebagai sub populasi yang mempunyai keseimbangan tersendin dengari habitat dan lingkungannya.
Angka 8
Cukup jelas
Pasal 2
Jenis-jenis tumbuhan dan satwa tertentu karena faktor-faktor biologis, ekologis dan geografis dan jenis tersebut maupun faktor-faktor yang disebabkan oleh tindakan manusia telah mengalami keadaan dimana keberlangsungan kehidupannya terancam dan dapat punah dalam waktu dekat apabila tidak ada tindakan pengawetan.
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa untuk mencegah atau menghindari terjadinya kepunahan dan suatu jenis tumbuhan atau satwa. Kecuali itu, keberadaan jenis-jenis tumbuhan dan satwa harus tetap terjaga kemurmian jenisnya serta tetap terjaga keanekaragaman genetik tanpa merubah sifat-sifat alami jenis tumbuhan dan satwa.
Dengan mengawetkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa, maka populasi jenis tumbuhan dan satwa dapat meningkat dan mencapai tingkat yang secara dinamik mantap. Karena suatu jenis tumbuhan maupun satwa merupakan bagian dan ekosistem, maka kemantapan populasi jenis tersebut dapat menjamin keseimbangan dan kemantapan ekosistem.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal Menteri memiliki data dan informasi ilmiah yang cukup bahwa suatu jenis tumbuhan atau satwa telah memenuhi karena untuk dilindungi, atau Menteri menerima usulan dan instansi pemerintah lain atau Lernbaga Swadaya Masyarakat untuk melindungi suatu jenis tumbuhan atau satwa dengan informasi ilmiah yang cukup, maka Menteri dapat menetapkan jenis tersebut untuk dilindungi. Dalam hal usulan melindungi suatu jenis tumbuhan atau satwa datang dari LIPI, maka Menteri langsung menetapkan jenis yang diusulkan menajdi dilindungi.
Pasal 5
Ayat (1)
Suatu jenis dikatakan mempunyai populasi yang kecil apabila dicirikan oleh paling tidak salah satu dari hal-hal berikut :
  1. berdasarkan observasi, dugaan maupun proyeksi terdapat penurunan secara tajam pada jumlah Individu dan luas serta kualitas habitat;
  2. setiap sub populasi jumlahnya kecil
  3. mayoritas individu dalam satu atau lebih fase sejarah hidupnya pernah terkonsentrasi hanya pada satu sub-populasi saja;
  4. dalam waktu yang pendek pernah mengalami fluktuasi yang tajam pada jumlah individu;
  5. karena sifat biologis dan tingkah laku jenis tersebut seperti migrasi jenis tersebut rentan terhadap bahaya kepunahan.
Huruf b
Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam dapat diketahui berdasarkan:
  1. observasi dimana saat ini sedang terjadi penurunan tajam atau terjadi di waktu yang telah lampau namun ada potensi untuk terjadi kembali; atau
  2. dugaan atau proyeksi yang didasarkan pada paling tidak salah satu dan hal-hal berikut :
    1. 1) penurunan areal atau kualitas habitat;
    2. 2) ancaman dan faktor luar seperti adanya pengaruh patogen, kompetitor, parasit, predator, persilangan, jenis asing (jenis introduksi) dan pengaruh racun atau polutan; atau
    3. 3) menurunnya potensi reproduksi.
Huruf c
Daerah penyebaran yang terbatas, dicirikan dengan paling sedikit salah Satu dan hal berikut :
  1. terjadi fragmentasi populasi;
  2. hanya terdapat di satu atau beberapa lokasi (endemik);
  3. terjadi fluktuasi yang besar pada jumlah sub populasi atau jumlah areal penyebarannya;
  4. berdasarkan observasi, dugaan maupun, proyeksi terdapat penurunan yang tajam pada paling tidak salah satu dan hal, berikut :
    1. 1) areal penyebaran;
    2. 2) jumlah sub populasi;
    3. 3) jumlah individu;
    4. 4) luas dan kualitas habitat;
    5. 5) potensi reproduksi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, ketentuan mengenai kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam diatur dalam Peratuan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Pasal 8
Ayat (1)
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang paling ideal dilakukan di dalam habitatnya (konservasi in situ) melalui kegiatan pengelolaan populasi dan pengelolaan habitat sehingga dihasilkan keseimbangan antara populasl dan habitatnya.
Ayat (2)
Dalam banyak hal, karena adanya tekanan terhadap populasi atau habitat kegiatan konservasi in situ saja tidak cukup untuk melakukan pengawetan jenis-jenis tumbuhan dan satwa, sehingga harus didukung dengan pengelolaan di luar habitatnya (konservasi ex situ). Tujuan dan konservasi ex-situ adalah melepaskan kembali tumbuhan dan satwa ke dalam habitat sehingga dapat berkembang secara alami dan mencapal tingkat keseimbangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Untuk menetapkan suatu jenis tumbuhan atau sama sebagai jenis yang dilindungi harus didasarkan pada informasi yang memadai tentang populasi, kondisi-kondisi biologis dan ekologis jenis yang bersangkutan termasuk habitat dan lingkungannya. Informasi yang paling akurat didapatkan melalui kegiatan inventarisasi.
Namun demikian Inventarisasi sering membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang sangat besar, sehingga sambil menunggu inventarisasi yang lebih rinci, penetapan jenis tumbuhan atau satwa sebagai jenis yang dilindungi dapat didasarkan dari hasil identifikasi yang menggambarkan keadaan populasi jenis tersebut secara garis besar dan dihubungkan dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Identidfikasi diperlukan untuk mengetahui gambaran secara umum (kualitatif) status populasi suatu jenis tumbuhan atau satwa. Dari identifikasi sudah dapat diketahui bahwa suatu jenis tumbuhan atau satwa dapat digolongkan menjadi jenis yang dilindungi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Inventarisasi merupakan kegiatan untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa termasuk habitatnya.
Secara rinci informasi tentang kondisi populasi yang penting diperoleh melalui kegiatan inventarisasi diantaranya dalam rangka perumusan kebijaksanaan antara lain berupa:
  1. data populasi termasuk status biologisnya;
  2. peta penyebaran jenis beserta habitatnya dengan skala yang cukup rinci;
  3. keadaan habitat.
Ayat (2)
Idealnya jumlah individu dari suatu populasi perlu diketahui benar hal tersebut kecuali sulit juga memerlukan biaya yang tinggi sehingga dengan inventarisasi dapat dilakukan pendugaan-pendugaan tentang keadaan populasi suatu jenis dengan metoda survei serta teknik-teknik lain yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan Hasil inventarisasi harus didokumentasikan secara baik dengan menggunakan teknologi pengelolaan data yang tersedia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Dalam rangka perumusan kebijaksanaan pengawetan, jenis tumbuhan dan satwa, harus dilakukan pemantauan terhadap dinamika populasi.
Ayat (2)
Pemantauan secara berkala harus dilakukan, terutama terhadap jenis-jenis yang dilindungi dari jenis-jenis yang diperdagangkan dari mengalami tekanan perburuan atau yang mengalami tekanan terhadap habitatnya. Metoda pemantauan terhadap populasi tumbuhan dari satwa, seperti survei harus standar dari secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, serta dapat dengan mudah dilaksanakan oleh petugas lapangan.
Dalam menentukan metoda yang standar, Menteri perlu bekerjasama dari berkonsultasi dengan LIPI atau lembaga-lembaga lain, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat. Hasil pernantauan harus didokumentasikan secara baik dengan menggunakan teknologi pengelolaan data yang tersedia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Penjarangan dilakukan apablia populasi telah melampaui daya dukung habitat dari dapat dilakukan hanya jika jenis yang bersangkutan tidak dilindungi. Atau apabila jenis yang bersangkutan dilindungi, daya dukung habitatnya tidak dapat ditingkatkan atau tidak ada habitat lain yang dapat menampungnya apabila dilakukan relokasi.
Penjarangan sedapat mungkin dilakukan dengan cara menangkap hidup-hidup, atau melalui kegiatan perburuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai perburuan satwa buru atau dalam Peraturan Pemerintah mengenal pemanfaatan jenis tumbuhan dari satwa liar.
Huruf e
Penambahan tumbuhan atau satwa asli dimaksudkan untuk menambah atau merehabilitasi populasi dari atau habitat yang rusak. Yang dimaksud dengan jenis asli yaitu jenis yang pernah hidup di daerah yang akan direhabilitasi atau daerah yang akan direhabilitasi merupakan daerah penyebaran jenis dimaksud. Pemasukan jenis-jenis asing harus dihindarkan.
Huruf f
Jenis tumbuhan dari satwa pengganggu terdiri dari golongan :
  1. jenis asli,
  2. jenis asing (exotic).
Gangguan dari jenis-jenis asli terjadi karena adanya persaingan alami antar jenis dimana salah satu jenis mengungguli dan cenderung memusnahkan jenis yang lain yang umumnya terjadi pada habitat ekosistem yang tidak berada pada tingkat keseimbangan. Pengendalian gangguan dari jenis asli dilakukan dengan pembinaan populasi seperti penjarangan terhadap jenis pengganggu dari pembinaan habitat.
Jenis-jenis asing (exotic) adalah jenis-jenis yang dalam sejarahnya tidak pernah hidup di kawasan geografi yang bersangkutan secara alami. Jenis-jenis asing tersebut berada di suatu daerah tertentu karena dibawa oleh manusia, sehingga jenis-jenis yang demikian harus dimusnahkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelamatan merupakan pertolongan terhadap populasi jenis tumbuhan atau satwa yang habitatnya telah menjadi sempit dari terisolasi atau rusak karena adanya bencana alam atau karena kegiatan manusia sehigga populasi atau sub populasi jenis yang bersangkutan menjadi terancam bahaya kepunahan lokal apabila tetap berada di habitatnya.
Kepunahan lokal adalah hilangnya suatu sub populasi dari wilayah habitat tertentu karena habitatnya menjadi sangat sempit, terragmentasi (terpotong-potong) atau terisolasi dari populasi aslinya, atau habitatnya rusak dari memerlukan waktu lama untuk dipulihkan. Dalam keadaan demikian sub-populasi tersebut menjadi terancam punah sehingga harus diselamatkan melalul kegiatan relokasi atau translokasi yaitu pemindahan ke wilayah habitat lain yang lebih memadai.
Ayat (2)
Pernindahan ke lokasi lain (translokasi) merupakan kegiatan memindahkan seluruh sub-populasi yang terancam kedalam habitatnya yang lain yang dapat mendukung sub-populasi tersebut. Pemindahan dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti penggiringan, pengangkutan atau cara-cara lain yang aman bagi tumbuhan atau satwa dari bagi manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa dalam rangka pengawetan adalah pengkajian, penelitian dan pengembangan yang harus menunjang tenaganya keanekaragaman genetik, keanekaragaman jenis dan keanekaragaman ekosistem. Sedangkan untuk kepentingan pemanfaatan, pengkajian, penelitian dan pengembangan diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengkajian, penelitian dan pengembangan pada dasarnya dapat dilakukan oleh ilmuwan baik yang mewakili instansi maupun perorangan sesuai dengan bidang ilmu yang dimilikinya. Namun demikian dalam rangka perumusan kebijaksanaan pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, pengkajian, penelitian dan pengembangan harus tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Pemeliharaan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk menyelamatkan dan memelihara sumber daya genetik di luar habitatnya dalam rangka mendukung konservasi jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya. Pemeliharaan individu-individu tumbuhan atau satwa dilakukan karena individu tersebut karena suatu. sebab tidak dapat dikembalikan ke habitatnya sehingga lebih baik dipelihara sebagai cadangan atau sumber plasma nutfah dalam rangka pengembangbiakan di luar habitatnya.
Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa dapat berbentuk :
  1. memelihara tumbuhan atau satwa dalam keadaan hidup;
  2. menyimpan semen beku;
  3. menyimpan biji atau benih didalam penyimpanan kering dan dingin.
Ayat (2)
Lembaga konservasi merupakan tempat yang paling ideal untuk memelihara jenis-jenis tumbuhan dan satwa dalam rangka pengawetan sumber daya genetik di luar habitatnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengembangbiakan adalah usaha memperbanyak individu secara buatan baik di dalam maupun di luar habitatnya melalui cara-cara sebagai berikut :
  1. Untuk tumbuhan, memperbanyak individu dilakukan dengan cara menumbuhkan material untuk tumbuh dari tumbuhan seperti biji, stek (potongan), pemencaran dari satu rumpun kultur jaringan tumbuhan dan spora dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Kemurnian jenis akan terjaga apabila tidak terjadi pembiakan silang antar jenis (species maupun sub species).
  2. Untuk satwa, memperbanyak individu dilakukan dengan cara mengawinkan secara alami maupun buatan (inseminasi buatan) apabila cara reproduksinya adalah kawin dan dengan cara lain apabila cara reproduksinya adalah tidak kawin baik di dalam maupun di luar habitatnya. Pengembangbiakan satwa dengan campur tangan manusia harus memperhatikan etika yang berlaku.
Dalam rangka pengawetan jenis tumbuhan dan satwa ini, pengembangbiakan harus ditujukan untuk dikembalikan lagi ke habitat alamnya sebagai upaya meningkatkan populasi di alam. 01 karena itu dalam pengembangbiakan satwa yang cara. Reproduksinya kawin harus dihindari perkawinan antar kerabat (in breeding) perkawinan silang antar jenis atau antar anak jenis agar dihasilkan individu-individu yang secara genetik sehat dari jenis yang murni.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Pengkajian, penelitian dari pengembangan jenis tumbuhan dari satwa yang dilakukan di luar habitatnya adalah dalam rangka pengawetan dan merupakan penelitian dari pengembangan yang mendukung konservasi in situ dengan tujuan tenaganya keanekaragaman genetik, keanekaragaman jenis dari keanekaragaman ekosistem.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Tidak semua satwa yang berada di luar habitat aslinya dapat langsung dikembalikan ke habitat alamnya. Hal ini karena individu satwa tersebut telah lama berada di lingkungan manusia yang membuat adanya ketergantungan terhadap manusia sehingga apabila langsung dilepaskan ke habitat alamnya akan mengalami kematian, menularkan penyakit kepada populasi asli di habitat alam, atau menurunkan mutu genetik (degenerasi) populasi asli di habitat alam. Oleh sebab itu, untuk mengadaptasikan dari mengkondisikan serta memilih satwa yang akan dilepaskan kembali ke habitat alamnya perlu dilakukan rehabilitasi agar mempunyai keadaan dan tingkah laku seperti populasi asli yang berada di alam.
Rehabilitasi satwa dilakukan agar satwa yang telah lama berada di lingkungan manusia mempunyai ketahanan hidup yang tinggi untuk dilepaskan kembali ke alam serta tidak mengganggu populasi yang telah mendiami habitat tersebut melalui penyebaran penyakit dan polusi genetik.
Ayat (2)
Rehabilitasi satwa meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut
  1. mengamati kesehatan satwa;
  2. melakukan pengobatan dan pemberian vitamin dan makanan tambahan.
  3. melatih dan mengadaptasikan dengan lingkungan habitat alamnya satwa-satwa yang terpilih untuk dilepaskan ke habitatnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Tumbuhan dan satwa yang secara tidak sah berada di luar habitatnya di bawah penguasaan scseorang harus diselamatkan untuk dikembalikan ke habitatnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan melepaskan kembali ke habitatnya adalah kegiatan mengembalikan ke habitat alamnya satwa hasil pengembangbiakan, penyelamatan, rehabilitasi atau hasil sitaan agar dapat berkembang biak secara alami dengan memperhatikan daerah sebaran asal jenis yang bersangkutan, populasi yang telah mendiami habitat tujuan, daya dukung habitat tujuan dari lingkungannya.
Dalam melepaskan kembali satwa ke habitat alamnya harus diperhatikan daya dukung habitat yaitu kemampuan habitat untuk menjamin lestarinya jenis yang akan dilepaskan. Termasuk dalam komponen daya dukung habitat adalah kecukupan pakan secara alami dari ruang perlindungan. Habitat yang dipilih untuk pelepasan kembali harus merupakan tipe habitat yang menurut sejarahnya diketahui merupakan sebaran asli jenis yang akan dilepaskan. Sebaran asli adalah suatu wilayah dimana suatu jenis diketahui pernah ada. Dalam melepaskan kembali satwa ke habitat alamnya harus juga diperhatikan populasi penghuni yang telah ada baik dari jenis yang sama maupun dari jenis lain sehingga dapat dinilai kemungkinan-kemungkinan adanya persaingan, predasi, simbiose dan parasitisme.
Secara fisik sehat berarti secara visual terlihat sehat, kuat dari aktif serta diketahui bebas dari penyakit. Sedangkan keragaman genetik yang tinggi berarti bukan merupakan hasil pengembangbiakan dimana terjadi kawin antar kerabat (Inbreeding) dari sedapat mungkin merupakan keturunan terdekat dengan induk yang berasal dari tangkapan di alam. Satwa hasil tangkapan dari alam dapat dipastikan mempunyai keragaman genetik yang tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Surat izin pengangkutan memuat antara lain :
  1. Nomor surat dan tanggal surat;
  2. Jenis dan jumlah tumbuhan dan atau satwa;
  3. Asal-usul satwa;
  4. Tempat tujuan;
  5. Masa berlaku surat izin;
  6. Pelabuhan atau terminal pemberangkatan;
  7. Pelabuhan atau terminal tujuan;
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Ketentuan teknis pembuatan kandang satwa serta cara-cara pengangkutan mengikuti ketentuan-ketentuan dengan standar internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan membahayakan kehidupan manusia adalah dapat mengancam kehidupan manusia yang hidup secara normal ditempat pemukiman atau lingkungan pemukiman sehingga keberadaan satwa di tempat itu sangat membahayakan dan dapat mengancam jiwa manusia warga masyarakat dalam pemukiman tersebut. Satwa yang membahayakan kehidupan manusia tersebut dapat terjadi karena habitatnya berdampingan dengan pemukiman manusia atau habitat satwa tersebut telah menjadi sempit dari terisolasi oleh kegiatan manusia sehingga dalam penjelajahan sehari-hari ke luar dari habitatnya atau karena sudah tua atau kalah bersaing dari terusir dari kelompoknya sehingga ke luar dari habitatnya menuju pemukiman manusia. Satwa yang berpenyakit dari karena penyakit tersebut membahayakan kehidupan manusia, maka satwa tersebut dapat dimusnahkan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mengancam secara langsung apabila satwa tersebut secara langsung diduga akan mencederai atau membunuh manusia atau menularkan penyakit yang membahayakan kehidupan manusia dan tidak ada cara lain yang lebih efektif untuk menghindarinya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan aparat penegak hukum yang berwenang adalah Polisi Republik Indonesla, Jagawana, Petugas Bea Cukai, Petugas Karantina dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3803
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1999
TANGGAL 27 JANUARI 1999
Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi
No. Nama Ilmiah Nama Indonesia
SATWA
I. MAMALIA (Menyusui)
1. Anoa depressicornis Anoa dataran rendah, Kerbau pendek
2. Anoa quarlesi Anoa pegunungan
3. Arctictis binturong Binturung
4. Arctonyx collaris Pulusan
5. Babyrousa babyrussa Babirusa
6. Balaenoptera musculus Paus biru
7. Balaenoptera physalus Paus bersirip
8. Bos sondaicus Banteng
9. Capricornis sumatrensis Kambing Sumatera
10. Cervus kuhli; Axis kuhli Rusa Bawean
11. Cervus spp. Menjangan, Rusa sambar (semua jenis dari genus Cervus)
12. Cetacea Paus (semua jenis dari famili Cetacea)
13. Cuon alpinus Ajag
14. Cynocephalus variegatus Kubung, Tando, Walangkekes
15. Cynogale bennetti Musang air
16. Cynopithecus niger Monyet hitam Sulawesi
17. Dendrolagus spp. Kanguru pohon (semua jenis dari genus Dendrolagus)
18. Dicerorhinus sumatrensis Badak Sumatera
19. Dolphinidae Lumba-lumba air laut (semua jenis dari famili Dolphinidae)
20. Dugong dugon Duyung
21. Elephas indicus Gajah
22. Felis badia Kucing merah
23. Felis bengalensis Kucing hutan, Meong congkok
24. Felis marmorota Kuwuk
25. Felis planiceps Kucing dampak
26. Felis temmincki Kucing emas
27. Felis viverrinus Kucing bakau
28. Helarctos malayanus Beruang madu
29. Hylobatidae Owa, Kera tak berbuntut (semua jenis dari famili Hylobatidae)
30. Hystrix brachyura Landak
31. Iomys horsfieldi Bajing terbang ekor merah
32. Lariscus hosei Bajing tanah bergaris
33. Lariscus insignis Bajing tanah, Tupai tanah
34. Lutra lutra Lutra
35. Lutra sumatrana Lutra Sumatera
36. Macaca brunnescens Monyet Sulawesi
37. Macaca maura Monyet Sulawesi
38. Macaca pagensis Bokoi, Beruk Mentawai
39. Macaca tonkeana Monyet jambul
40. Macrogalidea musschenbroeki Musang Sulawesi
41. Manis javanica Trenggiling, Peusing
42. Megaptera novaeangliae Paus bongkok
43. Muntiacus muntjak Kidang, Muncak
44. Mydaus javanensis Sigung
45. Nasalis larvatus Kahau, Bekantan
46. Neofelis nebulusa Harimau dahan
47. Nesolagus netscheri Kelinci Sumatera
48. Nycticebus coucang Malu-malu
49. Orcaella brevirostris Lumba-lumba air tawar, Pesut
50. Panthera pardus Macan kumbang, Macan tutul
51. Panthera tigris sondaica Harimau Jawa
52. Panthera tigris sumatrae Harimau Sumatera
53. Petaurista elegans Cukbo, Bajing terbang
54. Phalanger spp. Kuskus (semua jenis dari genus Phalanger)
55. Pongo pygmaeus Orang utan, Mawas
56. Presbitys frontata Lutung dahi putih
57. Presbitys rubicunda Lutung merah, Kelasi
58. Presbitys aygula Surili
59. Presbitys potenziani Joja, Lutung Mentawai
60. Presbitys thomasi Rungka
61. Prionodon linsang Musang congkok
62. Prochidna bruijni Landak Irian, Landak semut
63. Ratufa bicolor Jelarang
64. Rhinoceros sondaicus Badak Jawa
65. Simias concolor Simpei Mentawai
66. Tapirus indicus Tapir, Cipan, Tenuk
67. Tarsius spp. Binatang hantu, Singapuar (semua jenis dari genus Tarsius)
68. Thylogale spp. Kanguru tanah (semua jenis dari genus Thylogale)
69. Tragulus spp. Kancil, Pelanduk, Napu (semua jenis dari genus Tragulus)
70. Ziphiidae Lumba-lumba air laut (semua jenis dari famili Ziphiidae)
II. AVES (Burung)
71. Accipitridae Burung alap-alap, Elang (semua jenis dari famili Accipitridae)
72. Aethopyga exima Jantingan gunung
73. Aethopyga duyvenbodei Burung madu Sangihe
74. Alcedinidae Burung udang, Raja udang (semua jenis dari famili Alcedinidae)
75. Alcippe pyrrhoptera Brencet wergan
76. Anhinga melanogaster Pecuk ular
77. Aramidopsis plateni Mandar Sulawesi
78. Argusianus argus Kuau
79. Bubulcus ibis Kuntul, Bangau putih
80. Bucerotidae Julang, Enggang, Rangkong, Kangkareng (semua jenis dari famili Bucerotidae)
81. Cacatua galerita Kakatua putih besar jambul kuning
82. Cacatua goffini Kakatua gofin
83. Cacatua moluccensis Kakatua Seram
84. Cacatua sulphurea Kakatua kecil jambul kuning
85. Cairina scutulata Itik liar
86. Caloenas nicobarica Junai, Burung mas, Minata
87. Casuarius bennetti Kasuari kecil
88. Casuarius casuarius Kasuari
89. Casuarius unappenddiculatus Kasuari gelambir satu, Kasuari leher kuning
90. Ciconia episcopus Bangau hitam, Sandanglawe
91. Colluricincla megarhyncha Burung sohabe coklat
92. Crocias albonotatus Burung matahari
93. Ducula whartoni Pergam raja
94. Egretta sacra Kuntul karang
95. Egretta spp. Kuntul, Bangau putih (semua jenis dari genus Egretta)
96. Elanus caerulleus Alap-alap putih, Alap-alap tikus
97. Elanus hypoleucus Alap-alap putih, Alap-alap tikus
98. Eos histrio Nuri Sangir
99. Esacus magnirostris Wili-wili, Uar, Bebek laut
100. Eutrichomyias rowleyi Seriwang Sangihe
101. Falconidae Burung alap-alap, Elang (semua jenis dari famili Falconidae)
102. Fregeta andrewsi Burung gunting, Bintayung
103. Garrulax rufifrons Burung kuda
104. Goura spp. Burung dara mahkota, Burung titi, Mambruk (semua jenis dari genus Goura)
105. Gracula religiosa mertensi Beo Flores
106. Gracula religiosa robusta Beo Nias
107. Gracula religiosa venerata Beo Sumbawa
108. Grus spp. Jenjang (semua jenis dari genus Grus)
109. Himantopus himantopus Trulek lidi, Lilimo
110. Ibis cinereus Bluwok, Walangkadak
111. Ibis leucocephala Bluwok berwarna
112. Lorius roratus Bayan
113. Leptoptilos javanicus Marabu, Bangau tongtong
114. Leucopsar rothschildi Jalak Bali
115. Limnodromus semipalmatus Blekek Asia
116. Lophozosterops javanica Burung kacamata leher abu-abu
117. Lophura bulweri Beleang ekor putih
118. Loriculus catamene Serindit Sangihe
119. Loriculus exilis Serindit Sulawesi
120. Lorius domicellus Nori merah kepala hitam
121. Macrocephalon maleo Burung maleo
122. Megalaima armillaris Cangcarang
123. Megalaima corvina Haruku, Ketuk-ketuk
124. Megalaima javensis Tulung tumpuk, Bultok Jawa
125. Megapoddidae Maleo, Burung gosong (semua jenis dari famili Megapododae)
126. Megapodius reintwardtii Burung gosong
127. Meliphagidae Burung sesap, Pengisap madu (semua jenis dari famili Meliphagidae)
128. Musciscapa ruecki Burung kipas biru
129. Mycteria cinerea Bangau putih susu, Bluwok
130. Nectariniidae Burung madu, Jantingan, Klaces (semua jenis dari famili Nectariniidae)
131. Numenius spp. Gagajahan (semua jenis dari genus Numenius)
132. Nycticorax caledonicus Kowak merah
133. Otus migicus beccarii Burung hantu Biak
134. Pandionidae Burung alap-alap, Elang (semua jenis dari famili Pandionidae)
135. Paradiseidae Burung cendrawasih (semua jenis dari famili Paradiseidae)
136. Pavo muticus Burung merak
137. Pelecanidae Gangsa laut (semua jenis dari famili Pelecanidae)
138. Pittidae Burung paok, Burung cacing (semua jenis dari famili Pittidae)
139. Plegadis falcinellus Ibis hitam, Roko-roko
140. Polyplectron malacense Merak kerdil
III. REPTILIA (Melata)
164. Batagur baska Tuntong
165. Caretta caretta Penyu tempayan
166. Carettochelys insculpta Kura-kura Irian
167. Chelodina novaeguineae Kura Irian leher panjang
168. Chelonia mydas Penyu hijau
169. Chitra indica Labi-labi besar
170. Chlamydosaurus kingii Soa payung
171. Chondropython viridis Sanca hijau
172. Crocodylus novaeguineae Buaya air tawar Irian
173. Crocodylus porosus Buaya muara
174. Crocodylus siamensis Buaya siam
175. Dermochelys coriacea Penyu belimbing
176. Elseya novaeguineae Kura Irian leher pendek
177. Eretmochelys imbricata Penyu sisik
178. Gonychephalus dilophus Bunglon sisir
179. Hydrasaurus amboinensis Soa-soa, Biawak Ambon, Biawak pohon
180. Lepidochelys olivacea Penyu ridel
181. Natator depressa Penyu pipih
182. Orlitia borneensis Kura-kura gading
183. Python molurus Sanca bodo
184. Phyton timorensis Sanca Timor
185. Tiliqua gigas Kadal Panan
186. Tomistoma schlegelii Senyulong, Buaya sapit
187. Varanus borneensis Biawak Kalimantan
188. Varanus gouldi Biawak coklat
189. Varanus indicus Biawak Maluku
190. Varanus komodoensis Biawak komodo, Ora
191. Varanus nebulosus Biawak abu-abu
192. Varanus prasinus Biawak hijau
193. Varanus timorensis Biawak Timor
194. Varanus togianus Biawak Togian
IV. INSECTA (Serangga)
195. Cethosia myrina Kupu bidadari
196. Ornithoptera chimaera Kupu sayap burung peri
197. Ornithoptera goliath Kupu sayap burung goliat
198. Ornithoptera paradisea Kupu sayap burung surga
199. Ornithoptera priamus Kupu sayap priamus
200. Ornithoptera rotschldi Kupu burung rotsil
201. Ornithoptera tithonus Kupu burung titon
202. Trogonotera brookiana Kupu trogon
203. Troides amphrysus Kupu raja
204. Troides andromanche Kupu raja
205. Troides criton Kupu raja
206. Troides haliphron Kupu raja
207. Troides helena Kupu raja
208. Troides hypolitus Kupu raja
209. Troides meoris Kupu raja
210. Troides miranda Kupu raja
211. Troides plato Kupu raja
212. Troides rhadamantus Kupu raja
213. Troides riedeli Kupu raja
214. Troides vandepolli Kupu raja
V. PISCES (Ikan)
215. Homaloptera gymnogaster Selusur Maninjau
216. Latimeria chalumnae Ikan raja laut
217. Notopterus spp. Belida Jawa, Lopis Jawa (semua jenis dari genus Notopterus)
218. Pritis spp. Pari Sentani, Hiu Sentani (semua jenis dari genus Pritis)
219. Puntius microps Wader goa
220. Scleropages formasus Peyang malaya, Tangkelasa
221. Scleropages jardini Arowana Irian, Peyang Irian, Kaloso
VI. ANTHOZOA
222. Anthiphates spp Akar bahar, Koral hitam (semua jenis dari genus Anthiphates)
VII. BIVALVIA
223. Birgus latro Ketam kelapa
224. Cassis cornuta Kepala kambing
225. Charonia tritonis Triton terompet
226. Hippopus hippopus Kima tapak kuda, Kima kuku beruang
227. Hippopus porcellanus Kima Cina
228. Nautilus popillius Nautilus berongga
229. Tachipleus gigas Ketam tapak kuda
230. Tridacna crocea Kima kunia, Lubang
231. Tridacna derasa Kima selatan
232. Tridacna gigas Kima raksasa
233. Tridacna maxima Kima kecil
234. Tridacna squamosa Kima sisik, Kima seruling
235. Trochus niloticus Troka, Susur bundar
236. Turbo marmoratus Batu laga, Siput hijau
TUMBUHAN
I. PALMAE
237. Amorphophallus decussilvae Bunga bangkai jangkung
238. Amorphophallus titanum Bunga bangkai raksasa
239. Borrassodendron borneensis Bindang, Budang
240. Caryota no Palem raja/Indonesia
241. Ceratolobus glaucescens Palem Jawa
242. Cystostachys lakka Pinang merah Kalimantan
243. Cystostachys ronda Pinang merah Bangka
244. Eugeissona utilis Bertan
245. Johanneste ijsmaria altifrons Daun payung
246. Livistona spp. Palem kipas Sumatera (semua jenis dari genus Livistona)
247. Nenga gajah Palem Sumatera
248. Phoenix paludosa Korma rawa
249. Pigafatta filaris Manga
250. Pinanga javana Pinang Jawa
II. RAFFLESSIACEA
251. Rafflesia spp. Rafflesia, Bunga padma (semua jenis dari genus Rafflesia)
III. ORCHIDACEAE
252. Ascocentrum miniatum Anggrek kebutan
253. Coelogyne pandurata Anggrek hitan
254. Corybas fornicatus Anggrek koribas
255. Cymbidium hartinahianum Anggrek hartinah
256. Dendrobium catinecloesum Anggrek karawai
257. Dendrobium d’albertisii Anggrek albert
258. Dendrobium lasianthera Anggrek stuberi
259. Dendrobium macrophyllum Anggrek jamrud
260. Dendrobium ostrinoglossum Anggrek karawai
261. Dendrobium phalaenopsis Anggrek larat
262. Grammatophyllum papuanum Anggrek raksasa Irian
263. Grammatophyllum speciosum Anggrek tebu
264. Macodes petola Anggrek ki aksara
265. Paphiopedilum chamberlainianum Anggrek kasut kumis
266. Paphiopedilum glaucophyllum Anggrek kasut berbulu
267. Paphiopedilum praestans Anggrek kasut pita
268. Paraphalaenopsis denevei Anggrek bulan bintang
269. Paraphalaenopsis laycockii Anggrek bulan Kaliman Tengah
270. Paraphalaenopsis serpentilingua Anggrek bulan Kaliman Barat
271. Phalaenopsis amboinensis Anggrek bulan Ambon
272. Phalaenopsis gigantea Anggrek bulan raksasa
273. Phalaenopsis sumatrana Anggrek bulan Sumatera
274. Phalaenopsis violacose Anggrek kelip
275. Renanthera matutina Anggrek jingga
276. Spathoglottis zurea Anggrek sendok
277. Vanda celebica Vanda mungil Minahasa
278. Vanda hookeriana Vanda pensil
279. Vanda pumila Vanda mini
280. Vanda sumatrana Vanda Sumatera
IV. NEPHENTACEAE
281. Nephentes spp. Kantong semar (semua jenis dari genus Nephentes)
V. DIPTEROCARPACEAE
282. Shorea stenopten Tengkawang
283. Shorea stenoptera Tengkawang
284. Shorea gysberstiana Tengkawang
285. Shorea pinanga Tengkawang
286. Shorea compressa Tengkawang
287. Shorea semiris Tengkawang
288. Shorea martiana Tengkawang
289. Shorea mexistopteryx Tengkawang
290. Shorea beccariana Tengkawang
291. Shorea micrantha Tengkawang
292. Shorea palembanica Tengkawang
293. Shorea lepidota Tengkawang
294. Shorea singkawang Tengkawang 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I
ttd
Lambock V. Nahattands
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket