Khataman dan Imtihan

Khataman dan Imtihan

Minggu, 05 Mei 2013

Potret Nasionalisme Bangsa Indonesia Masa Lalu dan Masa Kini

Pengantar
          Nasionalisme menurut Kohn (1961:11) adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Secara etimologis, kata nation berasal dari kata bahasa Latin natio,  yang berakar pada kata nascor 'saya lahir'. Pada masa Kekaisaran Romawi, kata natio dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Kemudian, pada masa Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas. Selanjutnya, pada masa Revolusi Perancis, Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale (Dewan Nasional) yang menunjuk kepada semua kelas yang memiliki hak sama dalam berpolitik. Akhirnya, kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara (Amir, 2004).

          Seperti apakah potret nasionalisme bangsa Indonesia dulu (pada waktu awal kelahirannya) dan bagaimana pula kondisinya kini? Untuk menjawabnya kita lihat saja perkembangan nasionalisme sejak dekade pertama abad ke-20.

Istilah " Kebangkitan Nasional"
          Sejak kapan istilah "kebangkitan nasional" dipakai? Istilah ini dikemukakan oleh Perdana Menteri Hatta pada tahun 1948. Saat itu situasi politik di dalam negeri masih diwarnai perang kemerdekaan, di mana gejolak politik begitu hebat. Mantan Perdana Menteri Amir Sjarifudin pada bulan Februari 1948 membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR)  dan melakukan berbagai provokasi yang memancing reaksi dari partai lain seperti Masyumi, sehingga timbul konflik fisik. Selain itu, akibat perjanjian Renville, tentara Siliwangi dan pemerintahan di Jawa Barat harus hijrah ke Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia. Republik sudah berada di bawah ancaman Agresi Militer II. Keadaan ekonomi begitu buruk, inflasi meningkat. Sementara itu, Van Mook sibuk membentuk negara-negara federal seperti Negara Pasundan, NIT, dan lain-lain (Abdullah, 2001; Hoesein, 2008).

         Melihat kondisi negara yang masih muda itu begitu mengkhawatirkan, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantoro) dan dr. Radjiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Presiden Soekarno, Perdana Menteri Hatta, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mr Ali Sastroamidjojo agar memperingati peristiwa berdirinya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, untuk mengingatkan semua orang bahwa persatuan kebangsaan itu sudah diperjuangakan begitu lama. Usulan ini disetujui pemerintah RI. Maka dilaksanakanlah peringatan "Kebangunan Nasional" yang ke-40 pada tahun 1948 itu. Upacara peringatan dilangsungkan di "Presidenan", kediaman Presiden RI tahun 1946-1949, di Yogyakarta.  Hadir dalam acara yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantoro itu, para pimpinan partai politik yang berseteru, dan juga tokoh tokoh-tokoh nasional lainnya. Setelah itu, diadakan iring-iringan barisan keliling kota yang juga mengikutsertakan pasukan yang sedang hijrah . Sejak itulah dilakukan peringatan "Hari Kebangkitan Nasional", kecuali tahun 1949 karena situasi yang tidak memungkinkan (Abdullah, 2001; Hoesein, 2008). Namun, secara faktual, benarkah lahirnya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 adalah awal kebangkitan nasional?

Lahirnya Boedi Oetomo
         Pada hari Minggu, tanggal 20 Mei 1908, bertempat di "Ruang Belajar Kelas Satu", STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen = Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi), tepat pukul 9 pagi, berkumpullah beberapa pelajar STOVIA. Pemuda Soetomo membuka pembicaraan, menjelaskan maksud pertemuan, dan idenya disambut dengan tepuk tangan para hadirin. Maka diputuskanlah hari itu, didirikan perkumpulan Boedi Oetomo. Ketuanya adalah Soetomo, wakilnya Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Soewarno sebagai penulis. Beberapa tokoh lain yang ikut dalam pendirian BO ini adalah Goembreng, Mohammad Saleh, Soelaeman, Soeradji, dan lain-lain (Djajadiningrat, 1936: 245; Nagazumi, 1989: 64).

         Dalam beberapa minggu saja Boedi Oetomo (selanjutnya disingkat BO) sudah memiliki 1200 anggota di luar STOVIA dan di luar Jakarta. Bahkan dr. Wahidin pun kemudian mendirikan Cabang BO di Yogyakarta, pada 29 Agustus 1908 dengan Ketuanya dr. Wahidin sendiri dan sekretarisnya Dwidjosewojo. Ketika diselenggarakan Kongres BO yang pertama 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta, dr. Wahidin-lah yang menjadi Pimpinan Kongres. Ini suatu gerakan yang luar biasa menarik kaum pemuda di berbagai kota, terutama di Jawa dan Madura (Nagazumi, 1989:70-81).

         Memang dalam AD/ART-nya, BO tidak menunjukkan secara jelas tujuan mencapai kemerdekaan, namun secara implisit sudah ada kesadaran kebangsaaan. Hal ini terefleksikan dalam tujuan berdirinya BO, yaitu: (1) usaha pendidikan dalam arti seluas-luasnya, (2) peningkatan pertanian, peternakan, dan perdagangan, (3) kemajuan teknik dan kerajinan, (4) menghidupkan kembali kesenian pribumi dan tradisi, (5) menjunjung tinggi cita-cita kemanusiaan, (6) hal-hal lain yang bisa membantu meningkatkan kesejahteraan bangsa (Nagazumi, 1989: 272).

Tokoh-Tokoh  Dibalik Berdirinya BO
         Sebelum BO lahir, tidak dapat diabaikan peran dr. Wahidin Soedirohoesodo dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker alias Danoe Dirdja Setiaboedhi dalam memberikan kesadaran nasional kepada para pendiri BO. Siapakah kedua tokoh ini dan bagaimana pula pengaruhnya?

         Tokoh pertama yang erat hubungannya dengan kelahiran BO adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo. Priyayi yang lahir 7 Januari 1852 itu adalah lulusan Sekolah Dokter Jawa (yang nantinya menjadi STOVIA). Dr. Wahidin sudah menyadari perlunya ditanamkan kesadaran nasional kepada anak Hindia, agar kelak menjadi bangsa yang terhormat. Ia menganggap bahwa yang paling mendasar diperlukan untuk itu adalah pendidikan. Usaha pertama yang dilakukan adalah menerbitkan majalah berbahasa Jawa dan Melayu Retno Doemilah (artinya "Ratna Yang Berkilauan"). Melalui majalah inilah dr. Wahidin menyadarkan pentingnya pendidikan bagi bumiputera. Selanjutnya, dr. Wahidin mendirikan studie-fonds, badan penyedia beasiswa untuk golongan priyayi Jawa agar mendapat pendidikan Barat. Ia menghabiskan seluruh kekayaan yang dimilikinya untuk itu, namun tentu saja jauh dari cukup. Maka dr. Wahidin pun mengadakan perjalanan keliling ke seluruh Jawa, menemui para bupati dan priyayi untuk mewujudkan tujuan mulianya itu. Namun, usahanya ini kurang mendapat sambutan dari mereka. Dalam rangkaian perjalanannya itu, dr. Wahidin juga berceramah tentang kesadaran nasional dan masalah studie-fonds di STOVIA, pada akhir tahun 1907. Ternyata ia mendapat sambutan yang hangat dari para pemuda itu. Pada akhir ceramah itu, pemuda Soetomo berbincang-bincang lebih lanjut dengan dr. Wahidin tentang cita-cita dr. Wahidin tersebut. Setelah dirasuki gagasan-gagasan dr. Wahidin, Soetomo segera larut dalam kegiatan untuk mendirikan suatu perkumpulan, yang dicetuskan pada tanggal 20 Mei 1908 (Nagazumi, 1989: 47-57; Ricklefs, 2005:343-344). Demikian jelas pengaruh besar dr. Wahidin dalam melahirkan BO terutama melalui Soetomo, dkk.

         Tokoh kedua yang juga berpengaruh besar dalam kelahiran BO adalah E.F.E Douwes Dekker. Tokoh yang dilahirkan pada 8 Oktober 1879 di Pasuruan itu, memiliki riwayat hidup yang berliku dan selama 17 tahun dari 71 tahun masa hidupnya dihabiskan di berbagai penjara. E.F.E Douwes Dekker (selanjutnya disingkat DD) dilahirkan sebagai orang Indo Eropa yang hanya memiliki seperempat saja darah Jawa. DD masih memiliki hubungan keluarga dengan Edouard Douwes Dekker (Multatuli), Asisten Residen Lebak yang terkenal dengan "Max Havelaar"nya. Multatuli adalah adik kakek DD (Van der Veur, 2006).

         Setelah lulus dari HBS, DD menjadi opzichter (pengawas) di perkebunan kopi Sumber Duren di Gunung Semeru. DD kemudian menjadi laboran di pabrik Gula Pajarakan, dekat Pasuruan. Pada tahun 1900 DD bersama saudaranya Julius pergi ke Transvaal sebagai tenaga sukarelawan. Namun, akibatnya DD kehilangan kewarganegaraan Belanda karena keikutsertaannya ke Transvaal tanpa ijin Ratu Belanda. Sialnya lagi, pada tahun 1902 DD tertangkap tentara Inggris di Pretoria. DD kemudian dipenjarakan di Sailan, Colombo, hingga dikirim kembali ke Hindia Belanda karena sakit (Van der Veur, 2006).

         Pengalaman di Transvaal, memberi keyakinan pada DD bahwa hanya dengan kekuatan dan kesadaran rakyat sendirilah kemerdekaan suatu bangsa dapat dicapai. DD kembali ke Hindia Belanda dengan membawa semangat untuk memerdekakan tanah airnya. Untuk itu ia perlu menyadarkan rakyat, melalui propaganda dan dunia jurnalistik adalah pilihannya. Mula-mula DD menjadi Redaktur Tilpon di Jakarta untuk harian De Locomotif yang berpusat di Semarang. Selanjutnya ia pindah ke surat kabar Surabaja's Handelsblad. Namun tidak lama kemudian karena tidak cocok dengan pimpinannya yang beda haluan, ia pindah menjadi korektor Bataviaasche Nieuwblad.(BN) Di sini kariernya meningkat terus hingga akhirnya menjadi pemimpin redaksi (Van der Veur, 2006).

         Saat itu, DD memiliki perpustakaan di rumahnya di Kramat. Kebetulan rumahnya ini dekat STOVIA yang berlokasi di Gang Menjangan. Siswa-siswa STOVIA seperti Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, sering menggunakan perpustakaan DD dan berdiskusi dengan DD tentang politik. Di sinilah DD memompakan semangat nasionalisme kepada para pemuda itu. Pengaruh pribadi DD terhadap para pemuda itu begitu besar, oleh murid-murid STOVIA dia disebut sebagai "Kawan Orang Jawa Nomor Satu". Beberapa buku antara lain karya Multatuli disumbangkan DD ke STOVIA. Itulah sebabnya DD dijuluki sebagai opruier (penghasut) oleh pemerintah Hindia Belanda (Van der Veur, 2006).

         Semangat nasionalisme yang dipompakan DD kepada para pemuda STOVIA ternyata berperan besar dalam melahirkan BO. Rapat persiapan BO pun antara lain dilakukan di rumah DD. Ketika Kongres BO yang pertama dilangsungkan di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1908, DD hadir dan menganjurkan agar BO memiliki corong berupa surat kabar. Sementara BO belum memiliki sendiri, DD menawarkan agar BN dijadikan alat propaganda BO. Mengingat hubungan yang erat antara DD dengan para siswa STOVIA yang melahirkan BO, bisa dikatakan bahwa "Jiwa BO sesungguhnya lahir di rumah DD di Kramat" (Nagazumi, 1989: 56; Van der Veur, 2006).
 
 
Interpretasi Tentang Awal Kebangkitan Nasional
          Dalam perkembangannya kemudian, Boedi Oetomo lebih didominasi kaum priyayi tua dan tidak menjadi organisasi politik seperti yang diharapkan kaum muda seperti Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan lain-lain. Akibatnya mereka yang tidak puas, lari ke organisasi lain atau mendirikan organisasi baru. Gaung nasionalisme berkembang terus sehingga lahirlah organisasi-organisasi pergerakan lainnya, baik yang bergerak di bidang pendidikan sosial budaya, maupun sebagai organisasi politik: seperti Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Indische Partij (1912), Putri Mardika (1912), Paguyuban Pasundan (1913), Jong Java (1915), Jong Sumatra (1917), Jong Minahasa, Jong Ambon, dan Jong Celebes (1918), Indonesische Vereneging/Perhimpunan Indonesia (1908/1922/1924), PNI (1927), NU (1926), Istri Sedar (1930), Putri Budi Sejati, Pasundan Isteri (1930), Partindo (1931), Gerindo (1937), dan lain-lain (Pringgodigdo, 1994).
 
         Berbagai pendapat tentang BO diutarakan para peneliti. Misalnya Savitri Scherer (1985), cucu dr. Soetomo, dalam disertasinya menyatakan bahwa kebanyakan priyayi Jawa melihat kebangkitan kebudayaannya dengan berdirinya BO, namun perkumpulan ini secara efektif hanya membatasi diri pada peningkatan dan perlindungan kepentingan para priyayi Jawa saja (1985: 53).

         Akira Nagazumi dalam karyanya yang berjudul Bangkitnya Nasionalisme Indonesia; Budi Utomo 1908-1918 (terj.) menyebutkan bahwa BO adalah organisasi nasional pertama yang tampil di Indonesia, meski pun tidak pernah menjadi organisasi politik namun jangan diartikan bahwa anggota-anggota BO menginginkan tetap di bawah kekuasaan Belanda selama-lamanya (1989: 256-257).

         Robert Van Niel (1984) menyatakan bahwa BO muncul dalam pentas Indonesia sebagai organisasi yang didasarkan pada usaha individu-individu yang bebas dan sadar akan persatuan. Namun Van Niel berpendapat bahwa BO bersifat nasionalis hanya di dalam pengertian yang amat terbatas dan hanya menjelmakan kelompok kebudayaan Jawa serta tidak bemaksud membangun suatu bangsa. Menurut Van Niel pula, kebangkitan teelah terjadi jauh sebelumnya, tetapi  BO merupakan suatu organisasi Indonesia pertama yang mengikuti garis-garis Barat (1984: 82-84).

          M.C.Ricklefs (2005) berpendapat bahwa BO pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Meski pun jumlah anggotanya bisa mencapai 10.000 orang  pada tahun 1909, namun BO merupakan organisasi yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan serta jarang memainkan peran politik yang aktif (2005: 343-344).
 
         Jangan lupa pula bahwa pernah terjadi perdebatan, yang menyatakan bahwa awal kebangkitan nasional seharusnya dimulai dengan berdirinya Sarekat Dagang Islamiyah yang didirikan pada tahun 1905. Namun pendapat-pendapat yang tidak setuju menyatakan bahwa Sarekat Dagang Islam lebih merupakan organisasi dagang yang berbasis agama daripada sebuah organisasi politik (Korver, 1985, Noer, 1973). Selain itu, ide-ide tentang nasionalisme, memang bukan hanya dihidupkan oleh BO saja, peranan para mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda, melalui Indische Vereniging, yang didirikan pada tahun yang sama dengan BO,  tidak dapat diabaikan (Djoyoadisuryo, 1977).

         Terlepas dari pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa BO meski pun lebih berorientasi kepada gerakan yang lebih bersifat budaya Jawa. Namun, dilihat dari segi tujuan dan programnya, jelas untuk memajukan bangsa pribumi dalam bidang sosekbud dan juga politik. Hal ini terrefleksikan dalam tujuan BO no 6. "Menjamin kehidupan sebagai bangsa yang terhormat". Di sini secara tekstual jelas ada kata-kata "bangsa" nation, dan secara kontekstual menunjukkan cita-cita nasionalisme yang luhur, yaitu sebagai bangsa yang terhormat, artinya bangsa yang mandiri, merdeka.
 
         Kita dapat mengatakan bahwa potret nasionalisme Indonesia pada masa awal kebangkitan nasional awal abad ke-20 memiliki ciri khas, yaitu bermula dari suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Inilah yang disebut sebagai "nasionalisme kultural",  yang emansipatoris, dan mencari landasan identitas pada keutuhan kultural (Abdullah, 2001: 30-41). Jadi dalam hal ini, nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern kemudian bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik sebagai sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (Amir, 2004).

         Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata nasionalisme kultural ini tidak memuaskan para tokoh pergerakan. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (yang telah lulus menjadi dokter pada tahun 1908) adalah yang tidak puas dengan BO yang tetap tinggal sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial budaya saja. Maka ia keluar dan bergabung dengan Douwes Dekker dan Soewardi Soeryaningat sebagai "Tiga Serangkai" yang terkenal itu. Mereka aktif dalam Indische Partij, sebuah organisasi politik benar-benar yang bertujuan mendirikan negara merdeka. Dalam pengasingannya di Negeri Belanda, mereka aktif dalam Indische Vereniging dan ikut mematangkannya. Organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Indonesische Vereniging dan pada tahun 1924 menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Majalahnya yang bernama Hindia Poetra kemudian diubah menjadi Indonesia Merdeka. Sementara di tanah air, tahun 1927 di Bandung, Ir. Soekarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia. Tanggal 28 Oktober 1928, terjadilah peristiwa besar dalam Kongres Pemuda II yaitu lahirnya "Sumpah Pemuda". Inilah tahap yang disebut "nasionalisme politik", di mana strategi perjuangan sudah jelas diarahkan menuju Indonesia merdeka. Kebangkitan kebangsaan tahap pertama berujung pada lahirnya sebuah negara merdeka dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945.

Potret Nasionalisme Masa Kini
         Ketika negara yang bernama Indonesia akhirnya terwujud pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan penghuninya yang disebut bangsa Indonesia, persoalan ternyata belum selesai. Bangsa Indonesia masih harus berjuang dalam perang kemerdekaan antara tahun 1945-1949, tatkala penjajah menginginkan kembali jajahannya. Nasionalisme kita saat itu betul-betul diuji di tengah gejolak politik dan politik divide et impera Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, nasionalisme bangsa masih terus diuji dengan munculnya gerakan separatis di berbagai wilayah tanah air hingga akhirnya pada masa Demokrasi Terpimpin,  masalah nasionalisme diambil alih oleh negara. Nasionalisme politik pun digeser kembali ke nasionalisme politik sekaligus kultural. Dan, berakhir pula situasi ini dengan terjadinya tragedi nasional 30 September 1965.
   
         Pada masa Orde Baru, wacana nasionalisme pun perlahan-lahan tergeser dengan persoalan-persoalan modernisasi dan industrialisasi (pembangunan). Maka "nasionalisme ekonomi" pun muncul ke permukaan. Sementara arus globalisasi, seakan memudarkan pula batas-batas "kebangsaan", kecuali dalam soal batas wilayah dan kedaulatan negara. Kita pun seakan menjadi warga dunia. Di samping itu, negara mengambil alih urusan nasionalisme, atas nama "kepentingan nasional" dan "demi stabilitas nasional" sehingga terjadilah apa yang disebut greedy state, negara betul-betul menguasai rakyat hingga memori kolektif masyarakat pun dicampuri negara. Maka inilah yang disebut "nasionalisme negara" (Abdullah, 2001: 37-39).

         Tahun 1998 terjadi Reformasi yang memporakporandak-an stabilitas semu yang dibangun Orde Baru. Masa ini pun diikuti dengan masa krisis berkepanjangan hingga berganti empat orang presiden. Potret nasionalisme itu pun kemudian memudar. Banyak yang beranggapan bahwa nasionalisme sekarang ini semakin merosot, di tengah isu globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi yang semakin menggila.
 
         Kasus Ambalat, beberapa waktu lalu, secara tiba-tiba menyeruakkan rasa nasionalisme kita, dengan menyerukan slogan-slogan "Ganyang Malaysia!". Setahun terakhir ini, muncul lagi "nasionalisme" itu, ketika lagu "Rasa Sayang-sayange" dan "Reog Ponorogo" diklaim sebagai budaya negeri jiran itu. Semangat "nasionalisme kultural dan politik" seakan muncul. Seluruh elemen masyarakat bersatu menghadapi "ancaman" dari luar. Namun anehnya, perasaan atau paham itu hanya muncul sesaat ketika peristiwa itu terjadi. Dalam kenyataannya kini, rasa "nasionalisme kultural dan politik" itu tidak ada dalam kehidupan keseharian kita. Fenomena yang membelit kita berkisar seputar: Rakyat susah mencari keadilan di negerinya sendiri, korupsi yang merajalela mulai dari hulu sampai hilir di segala bidang, dan pemberantasan-nya yang tebang pilih, pelanggaran HAM yang tidak bisa diselesaikan, kemiskinan, ketidakmerataan ekonomi, penyalahgunaan kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, suap-menyuap, dan lain-lain. Realita ini seakan menafikan cita-cita kebangsaan yang digaungkan seabad yang lalu. Itulah potret nasionalisme bangsa kita hari ini.

         Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita harus dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya seabad yang lalu.  Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi semua permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan, tidak korup, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran total.[]
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket